
Sekali lagi, pikiran kita seakan terbawa mengarungi wilayah Palestina. Di sana, terdapat lanskap yang sarat dengan dinamika, baik itu dinamika politik, ekonomi, maupun perdamaian. Di tengah ketegangannya dengan negara penjajah, aspek ekonomi muncul sebagai faktor penting yang dapat menentukan arah dan karakter konflik ini, dan ini menyangkut tanggung jawab kita bersama.
Ketika kita menyelami konsep kemerdekaan di Palestina, penting untuk mengakui adanya interaksi antara ekonomi dan perdamaian dalam konflik dengan Zionis Israel yang telah berlangsung lama ini. Aspek ekonomi dari konflik ini tidak dapat diabaikan karena itu memainkan peran penting dalam melanggengkan pendudukan dan penindasan terhadap rakyat Palestina.
Sebagai bangsa yang menolak penjajahan, kita harus menghindari memberi dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada gerakan-gerakan yang memudahkan Zionis melakukan kekejaman terhadap rakyat Palestina. Ini sejalan dengan pembukaan Undang-Undang Dasar kita yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan produk-produk pihak pendukung Zionis, yang membuat sebagian besar masyarakat Indonesia terikat, tidak hanya secara moralitas hukum, namun juga secara nilai-nilai agama. Dikeluarkannya fatwa itu oleh MUI menjadi mudah dipahami karena memang aksi boikot ini perlu dilihat sebagai keharusan untuk melemahkan siapa saja yang berbuat keji.
Ketika kita tidak bisa berpartisipasi secara langsung dan fisik untuk mendukung Palestina, aksi boikot ini menjadi tindakan konkrit terbaik yang bisa kita lakukan, selain mendoakan mereka. Meskipun dampak ekonomi keseluruhan dari boikot terhadap pihak-pihak tersebut belum jelas, aksi ini akan secara jelas menunjukkan kepada siapa kita berpihak.
Selain itu, kita juga perlu menyadari hikmah yang tersirat di balik aksi ini. Kita berkesempatan untuk mengembangkan produk-produk lokal alternatif, yang justru lebih menguntungkan untuk ketahanan ekonomi nasional. Ini akan mendorong perubahan preferensi konsumsi masyarakat, yang pada gilirannya akan membuat ekonomi kita menjadi lebih mandiri.
Kita harus mengakui bahwa tugas kita untuk melakukan boikot mungkin akan terasa sulit karena produk-produk esensial dari Negara Barat, yang kita tahu mayoritasnya berpihak pada Zionis, sangat melimpah. Namun, jangan biarkan hal itu meredam semangat kita sama sekali.
Mulailah dengan produk-produk non-esensial jika produk-produk esensial terlalu sulit. Lakukan secara bertahap jika tidak bisa langsung. Lakukan sedikit demi sedikit jika tidak bisa banyak. Lakukan pada produk yang jelas-jelasan dihasilkan di wilayah pendudukan jika tidak bisa pada produk lainnya. Begitu seterusnya.
Konsep ini penting untuk dipegang agar kita tidak menutup mata dan tidak berbuat apa-apa atas kebiadaban yang dilakukan Zionis Israel terhadap rakyat Palestina. Ini cukup konkrit untuk dilakukan demi tercapainya perdamaian di sana.
Saya mengapresiasi, pemimpin kita telah menyatakan dukungan untuk aksi ini saat KTT OKI di Jakarta tahun 2016 lalu, dan saya rasa itu masih sangat relevan.