Home ยป Founder’s Syndrome: Ketika Sang Pendiri Menjadi Penghambat
Founder's syndrome dapat menjangkit setiap pendiri.
Ilustrasi foto siluet seorang pendiri organisasi yang dipecat organisasinya sendiri (itsfondo.com).

Pernahkah Anda mendengar istilah “founder’s syndrome”? Sindrom seperti apa ini kira-kira ya? Jika Anda mengira ini adalah kondisi medis, Anda salah. Ini adalah sebuah fenomena perilaku pada suatu organisasi yang mempengaruhi kinerja dan keberlangsungan organisasi tersebut.

Lebih jelasnya, ini adalah fenomena yang terjadi ketika pendiri organisasi atau perusahaan menjadi terlalu terobsesi dengan visi dan kekuasaannya, dan menolak untuk beradaptasi dengan perubahan kebutuhan dan tuntutan organisasi atau pasar. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti pengambilan keputusan yang buruk, kurangnya pendelegasian, resistensi terhadap perubahan, dan konflik dengan pemangku kepentingan.

Founder’s syndrome atau sindrom pendiri dapat memengaruhi organisasi nirlaba maupun organisasi profit, dan dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi pertumbuhan dan keberhasilan mereka. Terkadang, sindrom ini bahkan bisa menyebabkan si pendiri dipecat oleh organisasinya sendiri.

Kok bisa ya?! Bagaimana mungkin seseorang yang mendirikan organisasi dari nol dan menjadikannya sukses, justru dipecat oleh organisasinya sendiri? Siapa yang berwenang memecatnya memang? Jawabannya terletak pada struktur tata kelola dan kepemilikan si organisasi itu sendiri.

Aturan yang ada, baik di Indonesia maupun di luar sana, memang memungkinkan hal tersebut, apalagi jika si pendiri hanya bertindak sebagai pimpinan puncak (direktur utama atau semisalnya), bukan pengendali (pemegang saham mayoritas). Dewan komisaris menjadi pihak yang berwenang memecat si pimpinan pendiri itu pada organisasi dengan model two-tier system, dan dewan direksi menjadi pihak yang berwenang melakukan hal tersebut pada organisasi dengan model one-tier system.

Fenomena ini telah banyak terjadi, dan contoh terbaru, yang mungkin Anda sudah tahu, adalah Sam Altman yang dipecat oleh dewan direksi OpenAI dari jabatannya sebagai CEO. Namun, kita tidak akan membahas hal itu secara spesifik di sini.

Ketika sebuah organisasi pertama kali didirikan, pendiri biasanya memang memegang kendali dan pengaruh terhadap arah dan operasinya. Pendiri mungkin juga memiliki mayoritas saham organisasi, yang memberinya hak suara dan keuntungan finansial.

Namun, seiring dengan pertumbuhan dan kemajuannya, organisasi mungkin perlu mengumpulkan lebih banyak modal, menarik lebih banyak talenta, dan memperluas jangkauan dan pengaruhnya. Hal ini mungkin mengharuskan sang pendiri untuk membagi sebagian kekuasaan dan kepemilikannya dengan investor, mitra, karyawan, dan pihak lainnya.

Ini bisa menjadi proses yang sulit dan menyakitkan bagi si pendiri karena kehilangan kendali dan kepemilikan atas kreasinya. Namun, memang seperti itulah konsekuensi dari melepas mayoritas saham. Inilah yang disebut “founder dilution”.

Fenomena ini bisa menyebabkan si pendiri merasa terancam oleh ide-ide dan perspektif baru yang dibawa oleh “orang asing”, dan mungkin menentang atau menolaknya. Ia mungkin juga menjadi kurang transparan dan jujur kepada dewan direksi, sehingga menghambat kemampuan mereka untuk menjalankan tanggung jawab dan pengawasannya.

Perilaku ini dapat mengikis kepercayaan dewan dan pemangku kepentingan terhadap sang pendiri, dan dapat menciptakan keretakan antara pendiri dan seluruh organisasi. Dewan dapat memutuskan bahwa pimpinan pendiri tidak lagi layak untuk memimpin organisasi, dan dapat memilih untuk memecatnya. Ini benar-benar akan menyakitkan bagi si pendiri tentunya.

Semakin terdengar mirip dengan berita mantan bos perusahaan pemilik ChatGPT itu ya? Sekali lagi, kita tidak sedang membahasnya secara spesifik, oke?!

Lalu, bagaimana founder’s syndrome dapat dicegah atau ditangani? Tidak ada jawaban yang mudah atau sederhana untuk pertanyaan ini, karena setiap kasus mungkin punya sebab dan kondisi yang berbeda. Namun, keumuman mengatakan beberapa hal tentang ini:

  • Pendiri harus menyadari tanda dan gejala founder’s syndrome, dan mencari umpan balik dan saran dari orang lain, terutama dari dewan direksi/komisaris dan staf, tentang kinerja dan perilakunya. Pendiri juga harus terbuka untuk belajar dan berkembang, serta bersedia mengakui dan memperbaiki kesalahannya.
  • Pendiri harus memiliki visi dan misi yang jelas dan sama untuk organisasi, dan mengkomunikasikannya secara efektif kepada dewan, staf, dan pemangku kepentingan. Pendiri juga harus melibatkan mereka dalam perencanaan strategis dan proses pengambilan keputusan, serta menghormati dan menghargai pendapat dan kontribusi mereka.
  • Pendiri harus mendelegasikan dan memberdayakan timnya, serta menyediakan sumber daya dan dukungan yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Pendiri juga harus mengakui dan menghargai pencapaian dan upaya mereka, serta menumbuhkan budaya kolaborasi dan inovasi.
  • Pendiri harus memiliki rencana suksesi, dan mengidentifikasi serta mempersiapkan calon penerus yang dapat mengambil alih kepemimpinan organisasi ketika saatnya tiba. Pendiri juga harus siap untuk melepaskan organisasi jika hal tersebut merupakan kepentingan terbaik bagi organisasi dan misinya.

Sekali lagi, founder’s syndrome adalah fenomena umum yang dapat memengaruhi organisasi atau perusahaan mana pun, terlepas dari ukuran, sektor, atau tingkatannya. Hal ini juga dapat memengaruhi setiap pendiri, terlepas dari kepribadian, keahlian, atau pengalamannya.

Bagaimanapun, hal ini bukannya tidak dapat dihindari atau diubah. Dengan kesadaran, kerendahan hati, dan keberanian, pendiri dapat mengatasinya dan memastikan bahwa perusahaan yang didirikannya terus tumbuh dan berkembang.

Apa penilaian Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.