White lie masih sering menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Dalam berbagai situasi, idiom ini dikatakan bisa sangat membantu namun juga bisa sebaliknya, tergantung bagaimana penggunaannya. Arti kata lie itu sendiri secara harfiah adalah kebohongan, dan pada dasarnya setiap kebohongan tidaklah baik. Andai kata kebohongan itu baik, tidak mungkin muncul stigma negatif pada si pelakunya sehingga muncul julukan “si tukang bohong.” Pun jika kebohongan itu baik, tidak mungkin orang-orang tidak menyukainya. Kita semua tidak suka dibohongi.
Betul sekali slogannya lembaga antirasuah di suatu negara bahwa jujur itu tidak mudah, berani jujur itu hebat. Makanya, mungkin, untuk mengatasi hal tersebut, dikonstruksikanlah sebuah istilah berbohong yang dapat dipersepsikan tidak terlalu buruk (namun juga tidak terlalu baik tentunya), yaitu white lie.
Apa itu, White Lie?
Jika diterjemahkan secara literal, white lie berarti kebohongan putih. Sementara secara kontekstual terjemahannya menjadi kebohongan demi kebaikan. Sedikit kontradiktif memang, tapi begitulah frasa tersebut dimaksudkan.
Jadi, ketika seorang suami berkata kepada sang istri, “Kamu gak gemuk kok, beib,” padahal dalam hatinya ia mengeluh kalau istrinya terlalu gemuk, maka dia sedang menyampaikan white lie. Atau ketika Nobita dan Doraemon berkata bahwa suara nyanyiannya Giant itu merdu hanya karena takut dipukulinya, itupun white lie.
Menariknya, frasa ini juga banyak dimanfaatkan oleh kelompok yang lebih besar dan untuk kepentingan yang, tidak diragukan, lebih besar pula. Sebutlah suatu pemerintah dalam mengelola negaranya. Mereka banyak menggunakan white lie khususnya dalam menjaga stabilitas politik, hukum, dan keamanan (polhukam).
Bahkan pengelolaan perekonomian pun tak luput dari penggunaan kaidah kontroversial tersebut. Jika ditanya mengapa, jawabannya akan selalu dikaitkan dengan psikologi pasar.
Sangat betul bahwa pasar memiliki psikologi. Karena memiliki psikologi, ia pun rentan terkena bias psikologi. Bias psikologi inilah yang bisa menjadi distorsi atau gangguan pada stabilitas perekonomian. White lie seringkali dianggap diperlukan ketika distorsi ini, khususnya yang datang dari luar, mulai menyerang.
Dewasa ini, saya kira distorsi dari luar sudah menjadi suatu keniscayaan bagi pemerintahan negara manapun. Perkembangan teknologi digital memaksa para pemangku kebijakan untuk memperluas cakrawalanya terkait globalisasi ekonomi tidak hanya sebatas pada terintegrasinya sistem pada jalur perdagangan (trade channel) dan jalur keuangan (financial channel), melainkan pula jalur informasi (information channel).
Ketika datang, distorsi ini perlu segera dipertemukan dengan sebuah solusi, bukan hanya dengan sebuah pernyataan atau retorika yang sifatnya basa-basi. Jika tidak, perekonomian negara yang bersangkutan bisa ikut terpapar penyakit, bisa ikut terombang-ambing.
Jika pengambilan kebijakan yang keliru dan banyaknya ketidakpastian yang disuguhkan oleh pemerintah itu sendiri saja sudah cukup untuk bisa menjadi sebuah ancaman turbulensi ekonomi suatu negeri, apalagi jika berpaduan dengan distorsi ketidakpastian yang datang dari luar negeri.
Dalam berbagai diskusi, saya sering mendapati kalau pelaku pasar sangat tidak menyukai segala bentuk ketidakpastian. Namun sayang, ketidakpastian itu sendiri justru adalah satu-satunya kepastian dalam hiruk-pikuk pasar, menurut saya.
Kalau boleh saya bikin agak keren, frasa Inggrisnya yaitu “The only thing that is certain in the financial market is the uncertainty.” Dengan kata lain, mencari kepastian pasar itu adalah satu hal yang teramat sangat sulit, jika bukan mustahil.
Makanya, saya mengira, para pemangku kebijakan atau orang-orang yang memiliki pengaruh mesti memiliki semacam “obat” atau pertolongan pertama untuk meredam ketidakpastian tersebut agar tidak menimbulkan gejolak pasar, yakni pernyataan-pernyataan klise yang dikemas secara apik (baca: white lie).
Pejabat-pejabat biasanya akan rajin mengeluarkan pernyataan seperti itu tatkala pasar diliputi kekhawatiran, seperti kekhawatiran akan kembali terjadinya krisis moneter (krismon) tahun 1998, misalnya.
White Lie, Hoax, dan Hoaxonomics
Penggunaan white lie ini sah-sah saja sebetulnya, malah sudah menjadi kaidah yang umum digunakan para penyelenggara negara dalam menjaga kepercayaan pasar. Bahkan pernah seorang Menteri Keuangan Thailand blak-blakan kalau terkadang berbohong itu memang diperlukan untuk menciptakan perasaan yang baik. Hanya saja yang disayangkan, jarang sekali yang memperhatikan batasan-batasan dalam penggunaannya sehingga apa yang disampaikannya lebih seperti hoax.
Terdapat perbedaan mendasar antara white lie dengan hoax, meskipun konteks keduanya sama-sama berbohong. White lie menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford adalah kebohongan yang tidak berbahaya atau kecil, terutama yang seseorang katakan agar tidak menyakiti orang lain (seperti yang saya istilahkan tadi: berbohong demi kebaikan). Sementara dalam kamus yang sama, hoax adalah suatu tindakan yang dimaksudkan untuk membuat seseorang mempercayai sesuatu yang tidak benar.
Dari situ kita tahu kalau hoax berada pada tingkat yang lebih parah ketimbang white lie. Maka hanya perlu sedikit kejelian dan kejernihan hati kita saja untuk memilah mana saja pernyataan-pernyataan yang termasuk ke dalam white lie atau hoax.
Saya pribadi masih bisa memaklumi penggunaan white lie dalam konteks menjaga stabilitas perekonomian, mengingat hal tersebut memang membutuhkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Tapi kalau sudah menjurus kepada hoax, itu yang tidak dapat saya benarkan.
Begini, ketika penyelenggara negara, dalam situasi tertentu, hanya menyampaikan hal-hal positif (atau gamblangnya sepotong-sepotong mengungkapkan data) terkait perekonomian negaranya dengan tujuan menjaga stabilitas, saya rasa itu bisa dimaklumi. Artinya, apa yang mereka ungkapkan masih berdasarkan data, meskipun mereka secara diam-diam “berbohong” bahwasannya ada hal lainnya dalam data tersebut yang sebetulnya perlu juga diungkap.
Saya sebetulnya ingin memberikan contoh empiris secara eksplisit, tapi mari kita samarkan saja sedikit agar tidak ada yang tersinggung. Kita misalkan saja ada sebuah negara yang sangat berambisi melakukan pembangunan. Saking ambisiusnya, dalam empat tahun sejak sang presiden mulai bertahta saja utang negara tersebut berhasil membengkak hingga 53 persen.
Lalu masyarakatnya resah dengan kondisi tersebut, ditambah lagi mata uang negara tersebut juga babak belur karenanya hingga ambruk ke level terendah sejak krismon Asia pada 1998 (ini contoh nyata, beberapa tahun sebelum Covid-19 melanda).
Demi meredam keresahan, menteri keuangannya sampai turun gunung, menjelaskan bahwa kondisi perekonomian negaranya baik-baik saja dengan berbagai macam dalil, terutama adalah utangnya yang masih dalam level aman karena masih di bawah batas yang diamanatkan Undang-Undang (UU).
Ia pun berpendapat pelemahan mata uangnya itu lebih dikarenakan faktor eksternal, semisal turbulensi ekonomi di negara-negara regional.
Di lain pihak, banyak intelektual mengkritik pernyataan sang menteri yang tidak komprehesif mengungkapkan data. Mereka tidak menampik apa yang dikatakan si menteri soal level utang yang masih di bawah batas amanat UU, tapi terkait aman atau tidaknya, mereka sedikit menyangsikan.
Pasalnya, ada fakta bahwa sebagian besar utang tersebut berbentuk obligasi yang 50 persennya dimiliki asing. Porsi asing yang membengkak di obligasinya itu membuat negara tersebut lebih rentan terhadap guncangan ekonomi global. Sehingga, tidak heran kalau mata uangnya lebih mudah terombang-ambing, melemah seperti itu.
Jika mata uangnya terus melemah, tentu saja beban utang negara yang bersangkutan akan semakin besar dikarenakan pembayarannya yang berbentuk mata uang asing. Hal tersebut akan mempengaruhi postur anggaran negaranya dan berpotensi menganggu anggaran pada sektor lainnya. Jika sudah begini, dampaknya akan seperti bola salju, yang ujung-ujungnya mengganggu perekonomian secara keseluruhan.
Poinnya, sang menteri memang tidak berbohong terkait level utang tadi dan turbulensi ekonomi yang terjadi di negara-negara regional itupun adalah sebuah fakta. Namun, ia tidak sepenuhnya jujur mengungkapkan fakta di balik itu semua, seperti yang menjadi kritik banyak intelektual tadi. Itulah white lie.
Lalu, bagaimana dengan hoax? Seperti yang sudah saya katakan, hoax itu lebih parah ketimbang white lie. Jika white lie masih memiliki seuprit basis data dan masih memiliki celah untuk dikatakan bersandar pada fakta, hoax sama sekali tidak. Dan, hoax tetaplah hoax.
Tolong jangan ambil andil dalam membuat generasi setelah kita bingung dengan tambahan embel-embel yang manipulatif di belakangnya, semisal “hoax membangun.” Hoaxonomics sendiri hanyalah terminologi yang saya buat-buat untuk menggambarkan perekonomian yang dijalankan dengan unsur-unsur hoax.
Tentu saja saya berharap itu hanya menjadi sebatas terminologi fiktif dan tidak akan pernah ada manifestasinya.