“Generisasi merek” mungkin saja merupakan istilah yang asing bagi sebagian orang. Istilah ini memang jarang sekali terdengar kecuali bagi mereka yang mempelajarinya. Lantas, apa sebetulnya generisasi merek itu?
Dalam konteks pemasaran, generisasi merek (brand genericization) adalah fenomena dimana nama merek suatu produk digunakan sebagai istilah generik untuk menyebut semua produk serupa. Sebagai contoh di Indonesia, merek “Aqua” sering digunakan untuk menyebut produk minuman kemasan secara umum atau generik.
Contoh lain adalah merek “Baygon,” yang menjadi istilah generik dari produk-produk semprotan insektisida di Indonesia. Selain itu, merek “Odol” juga sering digunakan sebagai istilah generik dari produk-produk pasta gigi, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat misalnya, merek “Band-Aid” menjadi istilah generik untuk produk-produk perban perekat di sana. Kemudian ada juga merek “Sellotape” (atau “Selotip” dalam istilah kita) yang populer sebagai istilah generik untuk produk-produk pita perekat transparan di Inggris dan India. Lalu, ada juga “Xerox,” “Kodak,” dan masih banyak lagi.
Generisasi merek terjadi karena sebuah merek teramat sangat populer, baik itu karena pemasaran yang efektif dengan berbagai triknya maupun kurangnya pesaing yang tangguh. Saking populernya, orang-orang menjadi lupa bahwa istilah yang mereka gunakan adalah merek dari sebuah produk, alih-alih sebutan asli untuk produk itu sendiri.
Tak bisa dimungkiri bahwa fenomena ini adalah bentuk legitimasi masyarakat terhadap sebuah merek dari suatu produk. Perusahaan yang memiliki merek itu pun tentu merasakan berkahnya karena produknya menjadi pilihan utama masyarakat luas.
Selain itu, sisi positif lain dari fenomena ini adalah ini menjadi bukti dominasi pasar, sehingga perusahaan tidak perlu bersusah payah melakukan riset lanjutan untuk mencari tahu keunggulan kompetitifnya. Maka, semua itu akan menjadi keuntungan jangka panjang bagi perusahaan ketika dikelola dengan baik.
Namun, generisasi merek bukanlah tanpa “biaya.” Fenomena ini juga memiliki sisi gelapnya, yang tidak semua orang sadari. Sisi negatif ini bahkan sepadan untuk menjadi perhatian, sekalipun terkesan kabur karena bias yang dihasilkan oleh sisi positifnya.
Munculnya pesaing-pesain baru yang menawarkan produk sejenis dengan harga yang lebih murah adalah satu di antara sisi negatif fenomena ini. Kondisi ini akan mengganggu si perusahaan pemilik merek generik dengan penetrasi pasar yang mereka lakukan. Ini akan memaksa perusahaan memikirkan ulang penentuan harganya dan menekan margin mereka.
Sisi negatif yang lebih parah, fenomena ini mungkin saja berujung pada hilangnya perlindungan merek dagang. Ketika sebuah merek menjadi generik, para pesaing mungkin saja menggunakan istilah tersebut secara ilegal. Mereka bisa membanjiri pasar dengan produk serupa yang tidak hanya lebih murah, melainkan sangat miring harganya. Masyarakat kita sering menyebut kondisi ini dengan istilah “barang KW.”
Selain dapat menciptakan kebingungan di tengah masyarakat, barang KW juga mampu menekan perusahaan pemilik merek generik untuk berpikir ulang tentang penentuan harga produknya, yang tentunya akan mempengaruhi margin dan pangsa pasar mereka.
Sekedar info, istilah “KW” dalam frasa “barang KW” sering diartikan secara tidak tepat sebagai “kualitas.” Padahal, kata yang lebih tepat menggambarkan “KW” adalah “kuasi,” yang berarti semu menurut KBBI. Sehingga, “barang KW” adalah “barang kuasi” atau “barang semu.”
Jadi, apakah generisasi merek itu sebuah keberhasilan atau tantangan? Jawabannya adalah dua-duanya. Mereka seperti dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan. Suatu inovasi akan selalu memunculkan imitasi. Itulah fitrahnya.
Kesimpulannya, semua itu tergantung pada seberapa baik perusahaan mengelola fenomena ini. Yang jelas, fokus pada inovasi berkelanjutan, pemasaran yang efektif, dan perlindungan merek dagang adalah harga mati bagi sebuah perusahaan jika ingin mereknya tetap eksis dalam jangka panjang.