Uang, sebuah konsep yang kehadirannya bisa dalam berbagai rupa. Nilainya, bukan saja karena materinya, tetapi juga karena kepercayaan kita. Uang kita, itu penopang ekonomi, penggerak transaksi, dan alat pemenuhan kebutuhan. Di baliknya, tersimpan cerita dan harapan.
Setiap hari, kita bersentuhan dengan uang, baik secara langsung maupun tidak. Namun, bagaimana kita memperlakukannya, terutama uang fisik yang kita pegang, sering kali luput dari perhatian. Uang kertas yang lecek, robek, atau kotor bisa menjadi masalah bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain dan negara.
Anda mungkin merasa tak berkewajiban untuk merawat uang fisik yang Anda pegang saat ini. Untuk apa merawat sesuatu yang belum tentu Anda pegang lama-lama. Lagi pula, sering kali uang tak terawat itu masih bisa laku (diterima) di masyarakat, apalagi kalau ditransaksikannya ke pedagang kaki lima. Begitu kan kira-kira menurut Anda?
Saya sampaikan di awal tulisan, bahwa uang adalah sebuah konsep. Ya, uang bukan hanya sebuah objek fisik, tetapi juga representasi simbolis dari nilai dan alat tukar dalam konteks ekonomi yang lebih luas.
Apa yang membuatnya bernilai, sebetulnya lebih dikarenakan kepercayaan kita terhadap objek itu, alih-alih materi yang tersemat padanya. Ketika orang-orang sudah tidak percaya lagi pada kredibilitas sebuah uang, berapa pun nominalnya tidak akan ada artinya lagi.
Meskipun hampir semua negara memiliki undang-undang yang melarang setiap warganya menolak untuk menerima uang domestik di wilayah negaranya masing-masing, sebagaimana Undang-Undang Mata Uang di Indonesia, konsep kepercayaan masyarakat tetap fundamental dalam penentuan nilai sebuah uang.
Maka, merawatnya agar tetap kredibel bukan saja adalah hal yang penting untuk dilakukan melainkan juga merupakan sebuah tanggung jawab moral dalam menghargai simbol-simbol yang merepresentasikan banyak hal, mulai dari citra negara hingga perjuangan rakyat dalam mencari uang.
Selain itu, pembuatan uang fisik bukanlah proses yang murah. Setiap lembar uang yang diproduksi memerlukan bahan baku, tenaga kerja, dan teknologi. Ketika uang kertas rusak dan harus diganti, pemerintah harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mencetak uang baru.
Kita juga bisa membicarakan aspek kesehatan dalam hal ini. Uang tunai adalah salah satu benda yang paling sering berpindah tangan. Ia dapat menjadi sarana penyebaran kuman dan virus. Bayangkan berapa banyak orang yang telah menyentuh uang yang ada di dompet kita dan berapa banyak kuman dan virus yang menempel di situ.
Jadi, semua ini jelas bukanlah hal yang hiperbolis. Langkah kecil kita dalam merawat uang berkontribusi positif pada keuangan dan kesehatan negara. Kita mungkin tidak tahu secara pasti, namun upaya kita itu jelas telah membantu menghemat anggaran pemerintah dalam mencetak uang baru dan mengentaskan persoalan kesehatan di negeri ini.
Mari, mulai saat ini, biasakan hargai uang fisik dengan merawatnya. Simpanlah ia dengan baik sebagaimana kita tidak ingin kehilangannya. Jangan melipat, mencoret, dan mengotorinya agar ia tetap dalam kondisi prima, sebagaimana kita juga pasti ingin mendapatkannya dengan kondisi yang sama.
Mencatat pemasukan dan pengeluaran juga bisa menjadi bagian dari upaya menghargai uang. Kita tidak ingin menggunakan uang secara boros. Namun, seringkali kita tidak tahu secara pasti seberapa boros kita. Maka, di sinilah catatan keuangan bisa berguna.
Pada akhirnya, uang kita adalah urusan kita. Merawatnya, akan mempengaruhi aspek moral, ekonomi, dan kesehatan di lingkup yang lebih luas. Mulailah dari diri kita sendiri dan beritahu orang-orang sekitar kita untuk peduli dengan uang yang mereka pegang.
Jika tidak, sebaiknya kita tidak usah lagi menggunakan uang fisik dan beralih sepenuhnya ke transaksi nontunai. Ini akan mendukung perputaran uang yang lebih cepat dan menjadikan ekonomi lebih kuat.
Bagaimanapun, gerakan nontunai juga perlu kita sikapi dengan cara yang tepat, seperti yang pernah saya ulas di artikel saya yang ini.