
Naik turunnya harga merupakan dinamika yang sahih dalam segala bentuk perdagangan. Faktor permintaan yang tinggi, sementara stok terbatas, boleh saja menjadi anasir yang melambungkan harga suatu aset. Namun, pernahkah terpikirkan, apakah harga yang ada telah mencerminkan nilai yang wajar (intrinsik) dan kondisi fundamental yang baik atas aset tersebut? Atau, apakah nilai tersebut hanyalah sebuah gelembung ekonomi?
Ilmu Ekonomi mengatakan bahwa tingkat permintaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni [cateris paribus]: pendapatan, selera, harga barang itu sendiri, harga barang substitusi, jumlah penduduk, dan ekspektasi/harapan. Ada kata harapan dalam salah satu faktor tadi, yang berarti orang-orang membeli suatu barang tidak hanya dikarenakan mereka suka atau pun butuh melainkan juga mengharapkan nilai tambah di masa depan atas barang yang telah dibelinya.
Relevansinya dengan topik adalah, gelembung (bubble) seringkali dibentuk oleh ekpektasi pasar yang berlebih, yang membuat harga suatu barang/aset melonjak tanpa diiringi nilai fundamentalnya. Oleh karenanya, gelembung ekonomi (economic bubble) ditafsirkan sebagai fenomena lonjakan harga-harga aset ke level yang jauh di atas nilai fundamentalnya.
Yang menarik dalam hal ini, ekspektasi seringkali membuat orang-orang bersikap irasional. Ketika harga suatu aset menjadi semakin tinggi (dan tentu dengan stok/pasokan terbatas), orang-orang justru akan semakin tergugah untuk membelinya. Mereka (asumsikan semua orang memiliki informasi yang sama) berharap bisa mendapatkan keuntungan dengan membeli aset dan menjualnya kembali ketika harganya lebih tinggi. Ekspektasi seperti ini disebut spekulasi.
Yang menjadi perhatian adalah, sampai sejauh mana keadaan seperti itu dapat berlanjut? Inilah yang tak seorang pun bisa memprediksinya. Gelembung sulit dijabarkan menggunakan teori penawaran-permintaan (supply-demand) sehingga memvisualisasikannya dengan kurva pun menjadi tak ada artinya dikarenakan tidak terdapatnya titik keseimbangan (ekuilibrium) yang bisa dicapai: naiknya harga meningkatkan permintaan, yang mana meningkatkan harga, yang kembali meningkatkan permintaan, begitu seterusnya.

Akan semakin menjadi sorotan jika ternyata perdagangan aset dibiayai dengan utang. Singkatnya, ketika pendapatannya tak sebanding dengan pertumbuhan harga-harga aset, orang-orang memilih opsi pinjaman dari kreditor. Istilah bekennya: ngutang.
Dengan demikian, mereka tetap bisa memiliki aset namun, tentu, dengan kewajiban yang harus dibayarkan kepada kreditor. Fasilitas likuiditas seperti ini, apalagi jika mudah didapat, akan membuat pasar lebih atraktif yang dapat mengundang lebih banyak orang untuk turut serta dalam perburuan aset. Tak ayal, aset yang diperdagangkan semakin tinggi harganya, yang artinya, secara iteratif, meningkatkan permintaan dan akan kembali meningkatkan harga.
Namun, bagaimana jika di tengah jalan terjadi ketidakpastian yang menyebabkan para debitor (pihak yang berutang -red) kesulitan membayarkan kewajibannya? Tentu saja kreditor yang akan menanggung akibatnya. Kreditor (yang dalam hal ini biasanya adalah bank) bisa saja membekukan aset untuk menutupi kerugiannya.
Akan tetapi, pembekuan aset ini seringkali mengundang pesimisme pasar. Faktor psikologis akan memicu terjadinya aksi jual cepat (sell-off) yang berujung pada jatuhnya harga-harga aset (crash). Dengan demikian, dorongan untuk melepas aset (panic selling) akan dengan cepat menjalar ke berbagai sektor. Dari sini, gelembung pun pecah. Inilah yang terjadi di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1930-an (yang dikenal dengan masa The Great Depression) dan 2008 (yang dikenal dengan Subprime Mortgage Crisis).
Di Indonesia sendiri ancaman gelembung tak bisa dipandang sebelah mata. Pertengahan bulan Juli lalu, sektor properti kita sempat menjadi sorotan. Sector darling ini terancam oleh pembiayaan dengan pinjaman bank alias kredit pemilikan rumah (KPR).
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat terdapat setidaknya 35.200 debitor (atau debitur dalam konteks perbankan) yang memiliki KPR lebih dari satu rumah. Yang agak mencengangkan, 3.884 diantaranya diketahui memiliki KPR tiga sampai sembilan rumah sekaligus.
Tak heran apabila BI kemudian memutuskan untuk memperketat aturannya dalam pemberian kredit properti semata-mata untuk mengantisipasi kemungkinan meningkatnya jumlah kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) dalam tubuh perbankan. Meskipun dinilai masih sangat jauh dari gelembung–dikarenakan porsi kredit properti terhadap keseluruhan kredit perbankan yang kurang dari sepuluh persen, nampaknya BI tetap tak mau mengambil risiko.
Berkaca pada apa yang pernah terjadi di AS, barangkali sudah sepatutnya Indonesia melakukan pengawasan yang ketat terhadap sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi, yang mungkin tergolong tidak masuk akal alias irasional. Jangan sampai pertumbuhan yang elusif, bahkan ilusif, mengantarkan perekonomian negeri ini ke dalam jurang krisis.
Analogi pecahnya balon karena tertusuk jarum boleh jadi sangat nyata dalam menggambarkan dahsyatnya dampak gelembung ekonomi. Semoga Indonesia tercinta senantiasa dijauhkan dari fenomena-fenomena meresahkan seperti ini. Aamiin.
2 thoughts on “Apa sih, Gelembung Ekonomi itu?”