Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti. Di bulan itu ada kesempatan meraih pahala yang teramat besar dan dihapuskannya seluruh dosa bagi mereka yang istiqomah berada di jalan Allah Sang Ilahi. Oleh karenanyalah ia disebut sebagai bulan suci. Kini, kita tinggal menghitung hari hingga bulan suci tahun 1438 hijriah ini menghampiri. Dan selalu saja, ada hal menarik bagi saya setiap kali ia menghampiri, yang tak lain ialah seputar aktivitas ekonomi dan perputaran uang yang terjadi di negeri ini.
Ada apa dengan aktivitas ekonomi di bulan suci? Saya tidak tahu bagaimana bahasa sederhananya. Yang jelas, ada yang berbeda; ada yang tidak biasa. Atau kalau boleh sedikit nyeleneh: ada yang “aneh.” Aneh, karena di bulan yang notabene kebanyakan orang diwajibkan menahan diri dari berkonsumsi, aktivitas ekonomi harusnya bisa lebih kalem (smooth). Namun, yang terjadi justru tidak kalem.
Lihat saja bagaimana setiap kali Ramadhan Bank Indonesia (BI) menyiapkan likuiditas ekstra. Lihat juga data uang yang diedarkan (UYD) dan indeks penjualan eceran (IPE) & transaksi ritel yang selalu saja melonjak setiap kali Ramadhan tiba (Grafik 1 & 2).
Bicara soal likuiditas, memang ada beberapa faktor yang membuat BI harus menyediakannya secara ekstra selama Ramadhan, seperti tunjangan hari raya (THR) bagi para pegawai dan perihal ZIS (zakat, infak, dan sedekah). Kedua faktor itu saja sebetulnya sudah berkontribusi besar terhadap porsi suplai uang.
Belum lagi dengan fakta lapangan bahwa berbelanja barang-barang (khususnya pakaian) baru dan memberi hadiah kepada sanak keluarga sudah menjadi tradisi di sini. Sehingga tak mengherankan kalau kebutuhan uang setiap Ramadhan selalu meningkat, yang pada ujungnya mengerek jumlah UYD.
Kalau kita kembalikan hal tersebut ke teori moneternya Irving Fisher, The Quantity Theory of Money, harusnya ini menjadi pertanda baik bagi perekonomian kita, dimana salah satu variabelnya, yakni peredaran uang (money supply), sudah mendukung. Kita hanya perlu meneliti satu variabel lagi, yaitu perputaran uang (velocity of money), untuk memenuhinya.
Namun, melihat data pada Grafik 2 dan fakta aktivitas jual-beli yang begitu aktif di bulan suci, rasanya tidak berlebihan kalau saya berasumsi perputaran uang yang ada memiliki rasio tidak kurang dari 1. Artinya, saat itu nilai uang yang beredar merupakan gambaran terhadap nilai transaksi riil. Artinya lagi, ekonomi kita booming selama dan setiap kali Ramadhan.
Itu baru dari sisi teori moneter. Kita bisa lihat juga dari sisi teori penawaran dan permintaan. Saat bulan Ramadhan, permintaan barang selalu lebih tinggi dibanding bulan biasa. Inflasi pun menjadi sesuatu yang selalu diwanti-wanti. Namun, nyatanya tidak ada yang mencolok pada inflasi Ramadhan. Meskipun di fase awal banyak pemberitaan mengenai harga-harga yang naik, nyatanya data Badan Pusat Statistik (BPS) membuktikan inflasi di bulan suci selalu berada dalam tingkatan yang relatif terjaga selama satu dekade terakhir (kecuali Juli 2013 karena dampak kenaikan harga BBM). Lho, kok bisa?
Ini bisa terjadi karena adanya penyeimbangan dari sisi penawaran, baik itu secara alami maupun karena intervensi. Keinginan orang-orang untuk berpartisipasi meraup keuntungan dengan memproduksi barang sebanyak-banyaknya akan meningkatkan penawaran secara alami, sementara langkah yang diambil pemerintah untuk menjaga stok barang disebut intervensi.
Apapun itu, yang jelas telah terjadi penyeimbangan dari sisi penawaran, yang pada akhirnya menahan harga untuk naik secara signifikan. Permintaan dan penawaran meningkat sementara tidak dibarengi kenaikan harga secara signifikan, itu artinya ekonomi sedang booming.
Ini adalah sebuah anomali yang tak akan pernah bisa dijelaskan menggunakan teori ekonomi konvensional, yang melulu harus rasional. Pantaslah kalau banyak ekonom berandai-andai Ramadhan terjadi setiap bulan. Hanya sangat disayangkan, anomali ini kurang dimaknai, khususnya oleh konstituen utamanya, yang tak lain adalah umat Islam itu sendiri.
Tahun lalu, seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, BI mengonfirmasikan bahwa total kebutuhan uang selama Ramadhan meningkat 14,28% dari kebutuhan tahun sebelumnya yang sebesar Rp140 triliun, menjadi Rp160 triliun. Tahun ini, si bank sentral kembali memproyeksikan kebutuhan uang yang meningkat dengan kisaran yang mirip. Sungguh, itu bukanlah jumlah yang sedikit.
Bisa dibayangkan kalau uang itu dialihkan pada sektor-sektor produktif, akan ada banyak lapangan pekerjaan yang tercipta. Atau kalau uang itu dipergunakan untuk pengentasan kemiskinan, banyak sekali fakir miskin yang akan terbantu.
Menurut BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia per September 2016 adalah 10,7%. Dengan jumlah penduduk 255.461.700 jiwa (2015), maka yang tergolong miskin adalah 27.334.401 jiwa. Jika kita bagi uang Rp160 triliun tadi dengan jumlah penduduk miskin, masing-masing akan mendapatkan Rp5.853.430. Uang sebesar ini jelas akan sangat membantu mereka dalam memutar roda kehidupannya. Belum lagi jika mereka menggunakannya untuk modal usaha.
Poin terpenting yang harus disadari, terutama bagi kita umat Islam, adalah, dari puluhan juta jiwa yang tergolong miskin itu kebanyakannya adalah beragama Islam (sebuah konsekuensi logis mengingat 88% penduduk Indonesia beragama Islam). Ironi memang, di satu sisi outflow uang dari BI — yang sebanyak itu yang habis dalam waktu singkat — membuktikan kalau umat Islam itu sejatinya kaya, namun kekayaannya itu kurang memberi nilai positif bagi kesejahteraan umat karena lebih dipergunakan untuk hal-hal yang konsumtif.
Kita memang tidak bisa memaksakan kehendak kemana uang tersebut harus dikeluarkan. Apalagi dunia sudah terlalu terlena dengan doktrin kapitalistisnya Adam Smith yang terkenal itu: laissez-faire (let people do as they choose). Dan bahwa peruntukan uang adalah hak masing-masing orang, saya setuju itu tidak bisa diganggu-gugat. Namun, pernahkah terpikirkan, meskipun hanya sebersit, kalau perilaku konsumtif itu tidak memberikan hasil yang ideal bagi kita?
Coba perhatikan dan renungkan: kemana larinya uang hasil perilaku konsumtif kita itu? Siapa sih yang lebih banyak menikmati uang tersebut? Berapa banyak pedagang/pengusaha muslim yang ikut menikmatinya? Tanpa perlu data statistik, saya yakin teman-teman semua mengetahuinya.
Saya tidak bermaksud melemparkan sebuah wacana yang menghasut di sini. Saya tahu teori-teori ekonomi sedang dan akan selalu berlaku. Saya hanya menyoroti betapa berlimpahnya harta umat selama Ramadhan dan betapa gencarnya harta tersebut dikeluarkan untuk hal-hal yang konsumtif.
Wacana yang sebetulnya ingin saya lemparkan adalah, apakah tidak sebaiknya mental konsumtif itu direvolusi (supaya jargon “Revolusi Mental” itu bisa lebih berarti)? Namun, siapa ya kira-kira yang bisa melakukannya? Rasanya bakal sulit melilit sih kalau tidak dibarengi juga dengan kesadaran masing-masing diri. Tapi, sulit bukan berarti tidak bisa, kan? Iya, selama doktrin laissez-faire tidak terlalu meresap di dalam diri penduduk negeri ini.