Penggunaan istilah yang tepat sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat berujung pada kerugian. Seperti halnya penggunaan istilah “dewan direksi” dalam konteks bisnis di Indonesia yang jelas-jelasan keliru. Ini karena Indonesia menganut two-tier system dalam pengelolaan perusahaan. Nampak seperti hal remeh-temeh ya? Padahal implikasi penggunaan istilah yang salah bisa mencoreng wibawa masyarakat Indonesia, khususnya jika ditinjau dari sudut pandang akademis.
Saya sih masih bisa tersenyum santai ketika mendapati rekan-rekan profesional yang saya kenal menggunakan istilah “dewan direksi” atau “BOD” dalam komunikasi verbal maupun non-verbal. Namun, tatkala yang melakukan itu adalah mereka yang sedang bergelut di dunia akademis, terutama mahasiswa, ini yang saya risaukan.
Bagi saya, kesalahan ini hanya mengindikasikan kurang terjangkaunya literatur oleh para pelakunya, dan ini nampaknya muncul akibat penerjemahan kosa kata bahasa Inggris “board of directors” ke dalam bahasa Indonesia yang dilakukan secara literal, alih-alih kontekstual.
Padahal, English is silly (begitu guru bahasa Inggris saya menyebutnya), banyak kosa kata yang sulit atau tidak cocok (atau bahkan tidak bisa) jika diterjemahkan secara literal atau harfiah. Makanya, penting juga untuk bisa menerjemahkan kosa kata dari negara sumber bahasa (source country) sesuai dengan konteks, situasi, dan kondisi yang berlaku di negara penerima bahasa (receiving country).
Jadi, apa terjemahan “board of directors” yang tepat dan sesuai untuk kondisi di Indonesia? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita kembali kepada dua sistem pengurusan perusahaan yang ada, yaitu one-tier system dan two-tier system.
One-tier system adalah konsep dimana fungsi pengurusan dan pengawasan dilakukan oleh hanya satu organ, yaitu board of directors yang secara harfiah memang berarti dewan direksi. Sementara dalam konsep two-tier system, kedua fungsi tersebut dijalankan oleh dua organ yang berbeda, yaitu manajemen (untuk fungsi pengurusan) dan organ pengawas (untuk fungsi pengawasan). Ini adalah konsep yang berasal dari Council Regulation (EC) No. 2157/2001 dan Hungaria Act IV of 2006.
Indonesia memiliki undang-undangnya tersendiri yang mengatur masalah ini, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Mengacu Pasal 1 undang-undang tersebut, sangat jelas bahwa Indonesia menganut konsep two-tier system yang mana fungsi pengurusan dijalankan oleh direksi dan fungsi pengawasan dijalankan oleh dewan komisaris.
Undang-undang tersebut mempertegas keadaan bahwa tidak ada istilah “dewan direksi” di Indonesia, melainkan hanya “direksi.” Oleh karena itu, terjemahan yang tepat untuk “board of directors” di Indonesia adalah “direksi”. Ya, cukup “direksi”!
Mengenali perbedaan antara one-tier system dan two-tier system dalam manajemen perusahaan dan memahami bagaimana keduanya diterapkan di berbagai negara sangatlah penting untuk menghindari berbagai miskonsepsi. Terlebih agar miskonsepsi ini tidak terbawa ke ranah akademis yang notabene sangat sakral bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Beberapa rekan kerja saya yang membaca tulisan ini mungkin akan tertawa sinis dan mengolok-ngolok saya bahwa hal yang sedang saya bahas sangatlah remeh, dan saya tidak masalah dengan hal itu. Sekali lagi, bagi saya itu hanya menunjukkan kurangnya wawasan mereka terhadap literatur yang ada. UU PT sudah menjadi dasar yang jelas dalam hal ini.
Lantas, Anda mungkin bertanya kerugian riil apa yang bisa ditimbulkan dari kesalahan ini. Pertama, penggunaan istilah dewan direksi di dokumen legal perusahaan akan menimbulkan intepretasi yang membingungkan terkait fungsi pengurusan dan fungsi pengawasan, dan organ apa yang menjalankan masing-masing fungsi tersebut.
Ketidakjelasan struktur ini dapat menciptakan kekhawatiran akan potensi masalah atau ketidakberesan dalam perusahaan yang berujung pada kegagalan perusahaan dalam meraih investasi dari investor baru. Ini jelas kerugian yang besar bagi perusahaan, meskipun sebenarnya kesalahan tersebut hanya berkaitan dengan penggunaan istilah yang tidak tepat, dan bukan masalah sebenarnya dalam operasi bisnis perusahaan.
Kedua, kesalahan ini berpotensi merusak reputasi pelakunya, atau bahasa kasarnya cuma bikin malu. Profesional yang melakukan kesalahan ini akan rusak citra profesionalismenya dan akademisi yang melakukan kesalahan ini akan berkurang kredibilitasnya. Ujungnya, si profesional akan kehilangan kepercayaan dari rekan bisnisnya dan si akademisi akan diragukan karya ilmiahnya.
Jadi, penggunaan istilah yang tepat sangatlah penting dalam hal ini. UU PT sudah sangat jelas menunjukkan tidak adanya istilah dewan direksi di Indonesia. Kita harus membiasakan diri dengan literatur yang ada dan berhenti membiasakan diri dengan yang salah.