Karena dunia modern kita sangat bergantung pada uang untuk pertumbuhan ekonomi, sangat penting untuk memahami dampak instrumen moneter terhadap kehidupan sehari-hari. Salah satu kebijakan yang kontroversial, kebijakan tingkat suku bunga negatif, yang memerlukan pendalaman yang menyeluruh.
Seperti telah disinggung di tulisan sebelumnya, tingkat suku bunga negatif bukanlah sebuah kebijakan yang lazim mengingat ia belum pernah diterapkan di ekonomi sebesar UE dan Jepang. Dengan kata lain, negara-negara Eropa dan Jepang saat ini sebetulnya sedang melakukan suatu uji coba atau eksperimen yang bahkan merekapun tidak mengetahuinya.
Disinflasi berkepanjangan, yang bahkan sudah mengarah ke deflasi, menjadi kekhawatiran utama mereka dalam melakukannya. Hal ini membawa kita kembali pada pertanyaan: mengapa kinerja ekonomi Eropa (juga Jepang) bisa sebegitu buruk ketimbang AS pasca Krisis 2008? Padahal, apa yang mereka lakukan setelahnya tidak jauh berbeda dengan AS: mereka sama-sama menurunkan tingkat suku bunga acuan dan mereka juga menerapkan QE guna mendongkrak kembali ekonomi mereka, yang di Jepang menjadi cikal bakal mendunianya istilah Abenomics.
Ekonom AS, Mark Weisbrot, dalam sebuah wawancara TV menjelaskan, terlalu banyak nuansa yang melatarbelakangi guncangan di Eropa, namun tetap ada hal-hal sederhana yang bisa diangkat sebagai penjelasannya, dan yang paling utama adalah kurangnya akuntabilitas dari pihak-pihak atau lembaga-lembaga pembuat keputusan di sana. Tidak jelasnya pengawasan terhadap Lembaga Troika Eropa (istilah untuk trio: European Commission, European Central Bank, dan International Monetary Fund) juga menjadi perhatiannya.
Ia bahkan berpendapat, Lembaga Troika tersebut tidak terlepas dari kepentingan politik dan sengaja memelihara kondisi ekonomi yang buruk di Eropa demi mencapai agenda politiknya. Terlalu dominannya pengaruh Direktur Departemen Eropa IMF dalam berbagai kebijakan di UE, menurutnya, menjadi petunjuk nyata akan bagaimana meragukannya independensi Lembaga Troika tersebut, bukan saja IMF.
Tidak dijelaskan lebih lanjut tentang apa maksud perkataannya terkait disindependensi Lembaga Troika tersebut dan kepada siapa, lalu, sebetulnya mereka berpihak. Namun, adanya sistem pengambilan keputusan pada beberapa lembaga itu yang bekerja tak ayalnya sistem pada sebuah rapat umum pemegang saham (RUPS) perusahaan membuat kita lebih mudah untuk menduga kepentingan siapa yang akan lebih diutamakan dalam setiap pengambilan keputusannya. Yang jelas, Weisbrot menilai, apa yang dilakukan Lembaga Troika pada negara-negara di Eropa itu, seperti menganjurkan penaikan pajak, pemangkasan anggaran-anggaran — mulai dari anggaran kesehatan hingga pensiun, dan lain-lain, hanyalah kedok untuk “menyunat” pemerintahan negara-negara yang bersangkutan.
Sungguh, semua itu sudah berjalan terlalu jauh dan terlihat menjadi semakin rumit untuk ditanggulangi. Maka tak mengherankan apabila kemudian otoritas UE mengambil langkah yang tak lazim seperti tingkat suku bunga negatif ini. Ini memang sesuai dengan tekad dan ucapan viral Presiden ECB, Mario Draghi, yang akan melakukan segalanya demi memperbaiki situasi ekonomi yang ada — “Whatever it takes!” Lalu, bagaimana dengan Jepang? Mereka pun nampaknya setali tiga uang.
Suku Bunga Negatif Memacu Pertumbuhan?
Sesungguhnya, apakah tingkat suku bunga negatif membantu ekonomi bertumbuh, adalah satu hal yang masih prematur untuk dijawab dikarenakan data yang ada belum cukup valid untuk dijadikan acuan, khususnya pada konteks ekonomi UE dan Jepang. Butuh waktu yang lebih lama untuk bisa menyimpulkan semua itu, mengingat negara-negara tersebut baru mulai menerapkannya, secara berurut, pada Juni 2014 dan Januari 2016.
Namun demikian, tidak ada salahnya jika ingin membuat kesimpulan sementara dari data yang ada. Kita bisa mulai dari data inflasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara terkait, seperti tersaji dalam grafik-grafik di bawah:
Di atas adalah dua grafik perkembangan inflasi UE dan Jepang. Tergambar dengan jelas bagaimana perkembangan inflasi di dua negara besar itu pasca diterapkannya tingkat suku bunga negatif dalam sistem keuangan mereka, yangmana masing-masing menunjukkan tingkat inflasi di bawah nol persen atau inflasi negatif atau juga DEFLASI. Maaf jika saya harus menggunakan huruf kapital seperti itu. Saya sama sekali tak ada maksud untuk bersikap kurang sopan ataupun semacamnya. Saya hanya ingin mempertegas beberapa hal terkait kondisi pada grafik-grafik di atas.
Yang pertama adalah terkait pengistilahannya. Entah kenapa beberapa kalangan, khususnya moneteris-moneteris, di sana senang sekali mengganti kata deflasi ini dengan istilah baru, seperti inflasi negatif. Sehingga, mereka lebih senang menyebut kondisi pada dua grafik di atas dengan inflasi negatif, seolah-olah ingin menghindari istilah deflasi. Entah apa yang membuat mereka alergi dengan kata deflasi, yang jelas dalam literatur ilmu ekonomi tidak dikenal istilah semacam itu. Yang ada hanyalah inflasi dan deflasi, sudah itu saja. Adapun penjelasan atas perbedaan antara deflasi dan inflasi negatif masih banyak menimbulkan perdebatan atau masih belum bisa sepenuhnya diterima. (Terkait hal ini, saya batasi dulu sampai di sini, semoga ada kesempatan untuk membahasnya di artikel khusus nanti).
Kedua, jika dikatakan diberlakukannya tingkat suku bunga negatif adalah upaya untuk mendongkrak AD (silakan baca artikel bagian pertama), lantas mengapa yang terjadi justru deflasi? Bukankah perubahan harga-harga yang ke atas (inflasi) adalah sebuah pengungkit yang diharapkan keberadaannya di sini? Jadi, apa sebetulnya yang dihasilkan dari diberlakukannya tingkat suku bunga negatif di dua negara itu?
Sambil menunggu jawabannya, mari kita beralih pada data pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya para pejabat di The Federal Reserve, Mario Draghi pun sering menyampaikan harapannya agar kebijakan-kebijakan yang ia ambil bisa membawa ekonomi UE tumbuh signifikan. Sayangnya, sejak semula ia menyampaikan harapannya itu, ekonomi UE tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Begitupun dengan Jepang, yangmana Abenomics tidak kunjung menghasilkan buah yang manis.
Jika kita bandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia, UE dan Jepang pun masih tertinggal (lihat grafik di bawah). Ini bisa diartikan kalau UE dan Jepang bukan lagi motor penggerak ekonomi dunia. Wajar saja jika kemudian iklim investasi di sana menjadi kurang menarik. Investor pada umumnya memang menggunakan data pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu ukuran akan bagus tidaknya iklim investasi di suatu negara.
Gambaran seperti apa gairah para investor dalam berinvestasi di suatu tempat, bisa kita lihat pada kondisi Investasi Langsung Asing-nya atau Foreign Direct Investment (FDI). Dan, apa yang terjadi pada FDI UE dan Jepang memang selaras dengan kurang kondusifnya iklim investasi di sana. Silakan simak grafik di bawah:
Seperti Apa Risikonya?
Meskipun para pejabat bank sentral di sana seolah kompak bersikap, nyatanya pemberlakuan suku bunga negatif tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat, terkhusus dari kalangan ekonom itu sendiri. Richard Werner misalnya. Profesor ekonomi dari Universitas Southampton ini dalam berbagai kesempatan sering mengutarakan kekhawatirannya atas pemberlakuan tingkat suku bunga negatif di negara-negara besar. Ia khawatir langkah tak lazim ini hanya akan membawa perekonomian ke dalam situasi yang genting (precarious).
Lazimnya, dengan tingkat suku bunga positif, simpanan/deposito akan memberikan sekian persen penghasilan (bunga) kepada si nasabah/deposannya. Artinya, bank akan membayar para nasabahnya untuk dana yang mereka simpan: simpanan sebesar, misalnya, Rp100.000.000 di tahun pertama akan berkembang menjadi Rp110.000.000 di tahun kedua dan menjadi lebih besar lagi di tahun ketiga, begitu seterusnya.
Sekarang, dengan tingkat suku bunga negatif, bank akan melakukan yang sebaliknya: mengenakan biaya pada para nasabahnya atas uang yang mereka simpan. Jadi, uang Rp100.000.000 di tahun pertama akan berkurang menjadi Rp90.000.000 di tahun kedua dan berkurang lagi di tahun ketiga dan juga tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian, instrumen perbankan akan menjadi tidak menarik lagi di mata masyarakat dan dapat mendorong mereka untuk beramai-ramai menarik dananya (kondisi ini dikenal dengan istilah bank run). Inilah yang menjadi kekhawatiran Werner.
Untuk memahami bagaimana dahsyatnya dampak bank run pada perekonomian, barangkali kita bisa berkaca pada era The Great Depression di AS 80 tahun silam, dimana masyarakat berbondong-bondong menarik dana mereka di (hampir semua) bank sehingga likuiditas perbankan kering saat itu. Lantas, apa poinnya? Peran bank dalam menumbuh-kembangkan ekonomi amatlah penting, mengingat mereka adalah pelaku utama pada sistem pembayaran dan intermediasi keuangan. Hal itu masih berlaku hingga saat ini, dan mungkin akan selalu berlaku.
Tanpa likuiditas yang memadai, bank akan kesulitan melakukan investasi dan menyalurkan kredit. Tersendatnya dua hal tersebut membuat dunia usaha sulit untuk berkembang. Alhasil, usaha yang sangat bergantung pada kredit dalam permodalannya terancam tak bisa lagi mengeksekusi operasinya. Jika demikian, satu-satunya langkah rasional yang bisa diambil sebuah bisnis adalah berhenti. Ini berarti menambah pengangguran dan pendapatan negara dari pajak juga akan berkurang. Ujungnya, kepercayaan investor akan menipis, yang kembali menghambat investasi. Begitu seterusnya, seperti bola salju yang terus berputar dan membesar — snowball effect.
Yang disayangkan, masalahnya tak berhenti sampai di situ saja. Adanya aktivitas perdagangan internasional membuat kekhawatiran yang ada semakin besar. Jika nyatanya kontribusi ekspor-impor suatu negara cukup besar terhadap pertumbuhan ekonominya, maka snowball effect di atas tak hanya akan mengancam negara yang bersangkutan, namun juga negara partner dagangnya. Mestinya ini membuat gambaran risiko tingkat suku bunga negatif di UE dan Jepang menjadi lebih jelas.
Bagaimanapun juga data yang ada untuk menelaah hal ini memang masih sedikit sehingga menyimpulkannya sekarang hanya akan menghasilkan sebuah ketidakvalidan. Akan tetapi, itu sama sekali tidak menutup ruang bagi kita untuk memperkirakan hal-hal buruk yang dapat saja muncul dari diberlakukannya tingkat suku bunga negatif tersebut dan penjabaran di atas bukanlah satu-satunya masalah. Kita perlu juga mengaitkannya dengan pasar keuangan di sana mengingat ini juga merupakan fondasi yang membangun stabilitas sistem keuangan suatu negara. Berhubung tulisan ini sudah cukup panjang dan sangat rentan menjadi membosankan, mari kita bahas hal itu di lain kesempatan.