Home » Bawang Merah dan Barang Mewah
Bawang merah dan barang mewah menjadi satir kehidupan

Di dalam gemerlap cahaya kota, di mana gemuruh mesin dan hembusan angin beradu, bawang merah dan barang mewah, mereka berbisik lembut dalam dilema, menjadi saksi senyap dalam kontradiksi yang tak terpahami.

Di sebuah desa yang asri, jauh dari sibuknya kota, petani menggarap ladang mereka di bawah terik matahari. Di sana, bawang merah tumbuh subur, dipelihara dengan penuh kasih sayang dan jerih payah. Setiap siungnya adalah hasil keringat dan ketekunan, melalui proses panjang dari tanam, panen, hingga akhirnya tiba di pasar.

Kata seorang petani, “Setiap bawang yang kami tanam adalah harapan kami. Harapan bahwa jerih payah ini akan membawakan kami kehidupan yang layak.”

Di sudut lain dunia, di tengah gedung-gedung megah yang penuh lalu lalang, para pengusaha memikirkan produk-produk mereka di dalam ruangan yang sejuk. Di sana barang mewah tercipta, dirancang dengan penuh ketelitian. Setiap detail adalah hasil dari rantai pasok global yang rumit. Bahan baku dari satu benua, tenaga kerja dari benua yang lain, dan akhirnya, barang jadi yang dijual di butik-butik elit.

Kata seorang pengusaha, “Setiap barang mewah yang kami ciptakan adalah impian yang diwujudkan. Impian bahwa kemewahan ini akan memberi rasa hormat dan pengakuan.”

Di pasar tradisional yang hiruk-pikuk, di sela aroma rempah dan sayur-mayur, bawang merah, si sahabat sejati, ditumpuk berlimpah. Namun harganya tak menentu. Cenderung naik bersama musim dan permintaan, bahkan juga permainan.

Kata seorang ibu, “Bawang merah ini teman setiaku di dapur. Kini harganya makin ke langit meski sedikit-sedikit. Apakah aku terlalu banyak berharap, saat kebutuhan dapur ini menjadi lebih berat dirasa?”

Di mal megah yang berkilauan, di etalase-etalase kaca, barang mewah, si penggoda hati, berderet rapi dan anggun. Harganya cenderung tetap. Namun tak sejalan dengan akal sehat.

Kata seorang kolektor, “Barang mewah ini koleksiku di laci. Harganya memang selangit, tapi aku tak peduli. Aku harap aku semakin dipandang dan dihormati.”

Di dunia yang terbelah oleh garis tipis bernama ekonomi, mereka berjalan beriringan. Namun menuju titik yang berbeda.

Yang satu mengarah pada kebutuhan, yang lain pada pengakuan. Yang satu tidak elastis, dan yang lainnya elastis.

Apakah mungkin mereka bertukar peran? Bawang merah menjadi barang mewah dan barang mewah menjadi bawang merah?

Tidak ada yang tahu pasti. Tetapi kita jelas tak menginginkannya terjadi.

Biarlah mereka tetap berbeda. Cukuplah kemiripan mereka itu menjadi metatesis belaka.

Seorang moderat akan berkata, “Itu adalah fitrah dunia,” alih-alih mempersoalkan kasta mereka yang berbeda.

Seorang bijak bestari akan berkata, “Suatu hari, bawang merah akan kembali ke pangkuan ibu, dan barang mewah hanya akan menjadi hiasan semu.”

Namun seorang berilmu akan merangkul semua fraksi itu, memikirkan semua sesuai takaran, menyadari keadilan harus hadir dalam setiap sendi kehidupan.

“Semoga pemimpin kami adalah orang yang berilmu dan mengerti,” kata para pemimpi di sebuah negeri.

Dan, seorang optimis akan berkata, “Harapan selalu ada. Ia selalu menyala. Mari tetap berusaha dan berdoa.”

Apa penilaian Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.