Home » Utang: si Pedang Bermata Dua yang Rasulullah ﷺ Berlindung darinya

Rasanya, sudah tidak perlu lagi kita deskripsikan apa itu utang. Masyarakat nampak sudah sangat familiar dengan kata benda yang satu itu. Beberapa bahkan sudah sangat akrab, sampai-sampai ketika mandi, makan, hingga tidur pun selalu memikirkannya.

Maklum, praktiknya saat ini sudah merebak dimana-mana dan terkesan makin mudah perolehannya. Berbagai lembaga keuangan formal selalu siap (dan dengan sangat senang hati) membantu masyarakat untuk memperolehnya. Kalaupun tidak, tenang saja, masih banyak pihak informal yang siap menggantikannya, meskipun dengan syarat dan perjanjian yang “sedikit” lebih mencekik. Anda ingin coba?

Saya pribadi selalu berdoa agar dijauhkan dari utang (dan syukurnya, saya belum bersentuhan dengannya sampai detik ini). Selain karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya, saya juga bukan tipikal orang yang suka berurusan dengan ikatan-ikatan yang ditimbulkan — sebagai konsekuensi — dari utang, terkecuali jika ada hal-hal yang unconditional (mudah-mudahan tidak akan pernah). Namun, jikapun nantinya harus, utang yang saya ambil haruslah yang bersifat baik (good debt), bukan yang buruk (bad debt). Itu komitmen saya.

Ya, ilmu keuangan memang menggolongkannya ke dalam dua sifat tersebut. Teoritisnya, suatu utang dikatakan baik apabila ia dipergunakan untuk membeli aset yang menghasilkan pendapatan dan bisa digunakan untuk mengklaim pengurangan pajak. Sementara dikatakan buruk apabila ia tidak dipergunakan untuk membeli aset yang menghasilkan pendapatan dan tidak dapat digunakan untuk mengklaim pengurangan pajak. Akan tetapi, di Indonesia utang tidak atau belum bisa dijadikan klaim sebagai pengurang pajak untuk wajib pajak orang pribadi. Sehingga, definisi di atas bisa kita batasi pada sisi produktivitasnya saja.

Ketika seseorang mengambil utang untuk membeli, katakanlah, sebuah mobil, hal tersebut belum bisa kita simpulkan secara serta-merta apakah termasuk dalam golongan baik atau buruk, mengingat kita harus tahu peruntukannya terlebih dahulu. Jika mobil itu dipergunakan untuk menunjang suatu usaha sehingga dapat meningkatkan penghasilannya, maka itu dikatakan utang baik. Namun, jika mobil itu tidak dipergunakan untuk itu atau malah hanya untuk ajang pamer kepada tetangga ataupun kerabat saat mudik lebaran nanti, maka bisa kita katakan itu sebagai utang buruk. Begitulah gambaran umumnya, seperti pedang bermata dua kan?

Bagaimanapun, memang ada baiknya jika kita yang beragama Islam selalu berkaca pada Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang memanjatkan doa dalam solatnya agar dilindungi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari dosa dan utang (HR. Bukhari-Muslim). Tentu ada hikmah di balik doa Beliau itu yang bisa kita petik. Apalagi saat ini praktik utang juga selalu dibarengi dengan bunga, yang ribanya mudah dipetik. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu membimbing kita agar tidak sampai salah petik.

Apa penilaian Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.