Dunia bisnis sepertinya semakin mencuri atensi masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menyebutkan bahwa semakin banyak masyarakat kita yang turut memulai bisnis dalam tiga tahun terakhir, menjadikan persentase jumlah pengusaha Indonesia terhadap total penduduknya terangkat ke angka 1,6%. Selain itu, masyarakat kita ternyata memang memiliki ketertarikan yang sangat tinggi untuk berwirausaha, berdasarkan laporan Global Entrepreneurship Monitor tahun 2015.
Ini menjadi pertanda baik bagi kondisi fiskal kita ke depan mengingat banyak sekali potensi yang bisa negeri ini dapatkan dari peningkatan jumlah pengusahanya, dan terciptanya banyak lapangan pekerjaan dan bertambahnya pendapatan pajak merupakan dua hal yang utama.
Namun begitu, kondisi ini juga mengandung tantangan yang perlu diperhatikan dalam perjalanannya: tantangan yang menurut saya menjadi semakin krusial dewasa ini; tantangan yang bisa merusak tatanan suatu usaha bahkan iklim bisnis suatu negara apabila tidak diperhatikan dengan seksama. Tantangan tersebut tak lain adalah etika dari para pelakunya.
Ngomong-ngomong soal etika, tepat rasanya kalau ia dikatakan sebagai satu hal yang sulit dijabarkan. Etika merupakan hal abstrak, yang berkenaan dengan benar tidaknya sesuatu, seperti kata Wikipedia. Ini menjadikannya sarat akan sudut pandang.
Namun, jika dikembalikan pada semangat dasarnya, seharusnya manifestasinya tidak akan menimbulkan banyak perdebatan, mengingat apa yang dikedepankan dalam semangat dasar tersebut adalah hal-hal kebajikan, yang utamanya terkait hak, kewajiban, manfaat bagi lingkungan, dan keadilan. Etika dalam konteks apapun semangatnya akan tetap sama seperti itu, seharusnya. Tak terkecuali dengan konteks bisnis.
Yang jadi persoalan, beretika itu sangatlah tidak mudah. Butuh kesadaran diri masing-masing pihak untuk bisa mengejawantahkan etika yang baik. Apalagi jika kita kaitkan dengan konteks bisnis, yang mana faktor rente (keuntungan) bisa menjadi penghambatnya. Berbagai aturan boleh saja diterapkan atau diundangkan, akan tetapi semua itu menjadi tak berarti jika tidak dibarengi dengan kesadaran diri.
Milton Friedman, peraih Nobel Ekonomi, pernah berkata kalau entitas bisnis memiliki kewajiban untuk mencari keuntungan dalam kerangka sistem yang legal. Kerangka yang dimaksud di sini tak lain adalah norma-norma hukum, yang menurut Friedman merupakan etika yang dituangkan secara tertulis.
Ini artinya kepatuhan hukum menjadi salah satu ukuran suatu bisnis agar dapat dikatakan beretika (saya katakan salah satu ukuran karena memang tak semua hal etis diatur dengan hukum). Jadi, kalau kita ingin mengevaluasi etika bisnis suatu entitas atau perusahaan, kita bisa mengangkat kepatuhan hukumnya sebagai langkah awal kita.
Jika kita dapati suatu entitas bisnis beroperasi dengan tidak mematuhi norma-norma hukum yang berlaku di wilayah operasionalnya, maka sah saja kalau entitas tersebut kita katakan tidak beretika, tentu dengan asumsi semua norma hukum merepresentasikan nilai/semangat etis yang baik, seperti disinggung di atas.
Saya rasa tidak sulit menemukan entitas bisnis seperti itu (yang tak beretika -red) di Indonesia. Anda hanya perlu sedikit berjalan-jalan mengelilingi kota dimana Anda tinggal dan lihat apakah ada entitas bisnis yang menggelar atau menjajakan dagangannya menggunakan trotoar.
Mengapa? Karena negara kita memiliki aturan yang sangat tegas yang melarang kita menggunakan trotoar untuk berjualan. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) mengatakan, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan.
Mengingat trotoar merupakan bagian dari perlengkapan jalan, sebagaimana pada Pasal 25 ayat (1) huruf g UU LLAJ, maka siapapun yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi, termasuk juga berjualan, dapat dikatakan melanggar hukum karena telah mengganggu fungsi perlengkapan jalan. Sanksinya pun secara tegas diatur dalam Pasal 274 ayat (2) dan Pasal 275 ayat (1) UU LLAJ.
Tentu, itu hanya sebuah kasus yang belum mewakili semua hal terkait konteks pembicaraan kita kali ini. Kita mungkin akan mendapatkan lebih banyak sampel entitas yang tak beretika bisnis apabila lingkupnya kita perluas lebih dari sekedar isu trotoar seperti, misalnya, isu penggunaan bahan baku makanan yang kadaluarsa (seperti yang baru-baru ini menerpa salah satu restoran terkenal di Indonesia), pemanfaatan tenaga kerja manusia yang masih di bawah umur, pemakaian iklan komersial yang berbau pornografi, pemalsuan laporan-laporan keuangan, pengemplangan pajak, atau isu-isu lainnya yang dirasa kurang sejalan dengan semangat dasar di atas.
Pentingnya Etika Bisnis
Konsep etika bisnis tentu tidak muncul tanpa sebab. Dahulu kala, di Amerika Serikat (AS), praktik bisnis yang etis sudah mulai mendapat perhatian dan desakan untuk diterapkan, mengingat saat itu perbudakan dan kolonialisme masih banyak mewarnai praktik bisnis di sana. Konsep ini semakin diakui di era tahun 1970 hingga 1980an dimana etika bisnis mulai diadopsi dalam kurikulum di sekolah-sekolah bisnis di AS dan Eropa.
Urgensi kebutuhan pada konsep ini semakin mencapai puncaknya pasca terbongkarnya skandal keuangan yang dilakukan perusahaan energi kenamaan AS, Enron, pada penghujung tahun 2001, yangmana menjadi trigger disahkannya Undang-Undang Sarbanes Oxley di sana.
Rangkaian kejadian di atas sesungguhnya merupakan materi yang sering diberikan para pendidik etika bisnis kepada para peserta didiknya di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Mereka yang pernah mengenyam pendidikan bisnis pasti tahu hal tersebut, terutama skandal Enron yang memang sudah menjadi langganan sebagai contoh kasus dalam hampir semua bahasan etika bisnis.
Namun, ini tidak menjadikan etika bisnis eksklusif dan hanya berlaku bagi mereka yang berlatar belakang ekonomi/bisnis saja mengingat setiap orang berhak memiliki bisnis, dan hanya karena Enron telah menjadi patron, bukan berarti konsep etika bisnis hanya berlaku pada entitas bisnis berskala besar saja. Justru, Enron menjadi studi kasus yang “baik” bagi entitas/usaha kelas mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Barangkali ada dari teman-teman yang belum mengetahui seperti apa skandal Enron, silakan tonton video yang saya lampirkan di bagian akhir artikel ini untuk lebih jelasnya. Namun pada intinya, skandal tersebut dilakukan Enron dengan berbagai trik akuntansi untuk menutupi utang-utang dan kerugian-kerugiannya sehingga profitabilitasnya terjaga dan sahamnya tetap terlihat menarik di mata para investor.
Praktik curang ini menjadi semakin “cantik” dengan terlibatnya Arthur Andersen, kantor akuntan publik (KAP) yang menjadi rekanan Enron pada saat itu, hingga keadaan tak lagi berpihak pada mereka dan skandal pun terungkap. Beberapa petinggi baik dari Enron maupun Arthur Andersen pun kemudian dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara.
Kedua entitas tersebut pada akhirnya harus merelakan bisnisnya berakhir, dimana Enron dinyatakan pailit oleh pengadilan dan Arthur Andersen dicabut izinnya sebagai KAP oleh otoritas setempat. Kebangkrutan mereka itu lalu menimbulkan persoalan baru yang tak bisa dianggap sepele, seperti: ribuan pegawai kehilangan pekerjaannya, hilangnya hak para pemegang saham yang bernilai miliaran dolar, hingga terguncangnya pasar saham AS akibat keresahaan yang ditimbulkan skandal keuangan itu.
Pesan moral dari cerita di atas terletak pada bagaimana dua buah entitas bisnis berskala besar itu hancur lebur reputasinya hanya karena tindakan mereka yang menyalahi etika. Padahal sebelumnya, Enron pernah dinobatkan sebagai “Perusahaan Paling Inovatif di AS” oleh majalah Fortune selama enam tahun berturut-turut, dari 1996 sampai 2001. Sedangkan Arthur Andersen saat itu adalah salah satu KAP “Big Five” yang beroperasi di banyak negara di dunia.
Di sinilah dunia usaha seharusnya melihat pelajarannya: bagaimana etika bisnis dapat berdampak buruk bagi kelangsungan usaha suatu entitas bahkan juga iklim bisnis suatu negara apabila tidak diperhatikan dengan seksama. Jika perusahaan sekelas Enron saja bisa hancur karena ketidaketisan, apalagi perusahaan yang berskala UMKM.
Tidak percaya? Izinkan saya membagi sedikit pengalaman saya.
Jadi, suatu hari saya pernah mengingatkan hal ini kepada seorang teman saya yang bisnis kulinernya menyatut trotoar yang ada di depan tempat usahanya di bilangan Jakarta Barat. Dia bilang, “Ah, kasus itu kan soal keuangan, beda urusan dan terlalu berlebihan untuk ukuran warung makan gue. Toh, gue kan cuma pake trotoar, yang emang orang jarang lewat di situ. Terus, sejauh ini juga aman-aman aja, tuh.”
Mendengar jawaban saklek seperti itu, saya tak ambil pusing karena memang itu bukan urusan saya. Sebagai seorang teman, porsi saya hanya sebatas mengingatkan, saya paham itu. Sayangnya, selang beberapa bulan kemudian, yang sebetulnya belum lama dari saat tulisan ini dirilis, saya mendapatkan kabar kalau bisnisnya itu terkena penertiban oleh pemerintah setempat.
Saya belum tahu pasti bagaimana nasib bisnisnya saat ini, yang jelas kerugian materiil maupun immateriil sudah menjadi suatu keniscayaan baginya. Jelas itu semua merupakan pelajaran bagi pelaku bisnis lainnya bahwa etika bisnis memang faktor yang sangat penting bagi kelangsungan usaha mereka, terlebih etika tersebut sangat erat kaitannya dengan aspek hukum.
Maka, dari kejadian-kejadian di atas, kita bisa tarik kesimpulan mengapa etika bisnis dikatakan sangat penting, utamanya, adalah karena adanya aspek yang melekat, yaitu aspek hukum. Sehingga, dengan memperhatikan etika, suatu bisnis dapat terhindar, atau paling tidak terminimalisir risikonya, dari persoalan hukum.
Selain itu, dengan memperhatikan etika, suatu entitas bisnis akan secara otomatis mendapatkan legitimasi dan respek dari masyarakat sekitar. Tak hanya itu, mengingat etika bisnis sering dipandang seiring sejalan dengan good corporate governance (GCG), suatu entitas yang beretika juga akan lebih mudah menggaet investor ataupun kreditor tatkala ia membutuhkan suntikan dana segar untuk mengembangkan bisnisnya.
Yang paling utama dari semua itu, etika bisnis merupakan nilai tambah bagi para pelaku bisnis agar dapat mempertahankan bisnisnya dalam jangka waktu yang panjang.
Jadi, jika Anda salah seorang pelaku bisnis, coba tanyakan kepada diri Anda sendiri, apakah Anda sudah menjalankan bisnis Anda itu dengan nilai-nilai etika? Jika masih bingung, silakan kembalikan pada semangat dasar di atas: apakah Anda sudah menjalankan bisnis Anda dengan memenuhi hak dan kewajiban yang ada — hak pegawai-pegawai Anda dan kewajiban mematuhi hukum, misalnya?
Lalu, apakah bisnis yang Anda jalankan membawa manfaat bagi lingkungan? Yang terakhir, apakah Anda sudah menjalankan bisnis Anda dengan penuh keadilan bagi seluruh stakeholder-nya? Satu saja dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terpenuhi, maka tak perlu tersinggung jika Anda dikatakan pebisnis yang tak beretika.
Silakan lakukan evaluasi. Jangan sampai apa yang menjadi visi-misi Anda sebagai pebisnis terhenti hanya karena sebuah ketidaketisan.
******
Referensi buku:
“Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management Approach” -Joseph W. Weiss
Referensi video:
http://documentary-movie.com/enron-the-smartest-guys-in-the-room/