Berita nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat membuat masyarakat resah beberapa waktu lalu. Pasalnya, saat itu mata uang negeri Paman Sam tersebut sudah terlampau mahal nilai satuannya jika dikerupiahkan, yakni hampir Rp15.000. Meskipun rupiah belum menyentuh angka psikologis itu dan dikatakan masih dalam kisaran yang aman, tetap saja kekhawatiran masyarakat akan terulangnya krisis moneter 1998 tidak serta merta lenyap. Apalagi dengan adanya stress test OJK yang mengatakan akan ada lima bank yang terguncang jika mata uang Garuda menyentuh level tersebut, seperti yang pernah saya singgung di artikel saya sebelumnya. Sekarang, rupiah sudah kembali ke kisaran Rp13.800an per dolarnya, kisaran yang nampaknya cukup mampu meredam keresahan masyarakat selaku pelaku pasar dalam artian umum. Lantas, apakah ini berarti tekanan terhadap rupiah sudah berakhir? Dan, siapa sih sebetulnya yang perlu diapresiasi dalam hal ini?
Dalam beberapa kesempatan, saya sering menjumpai argumen-argumen dengan konstruksi yang lemah (fallacy) atau bahkan miskonsepsi masyarakat mengenai hal ini. Banyak pendapat/opini yang dikemukakan yang sangat tendensius dan cenderung mengarahkan masyarakat pada pemahaman yang tidak berimbang (imperfect foresight), dan sayangnya, tak sedikit yang mengamininya, seolah opini mereka sudah tergiring. Misalnya saja opini bahwa itu menjadi tanggung jawab Bank Indonesia (BI) ketika rupiah bertubi-tubi tertekan penguatan dolar AS, dan ketika rupiah kembali perkasa, itu dikatakan sebagai hasil kerja keras pemerintah semata. Seolah-olah ada jurang pemisah dalam pengelolaan ekonomi kita.
Perlu kita ketahui bersama, baik BI maupun pemerintah sama-sama memiliki andil dalam menjaga stabilitas nilai rupiah. Yang membedakan hanyalah ranah dan sifatnya: BI melakukannya dari ranah moneter dan bersifat langsung, sementara pemerintah dari ranah fiskal dan bersifat tidak langsung.
Tujuan dari diterapkannya kebijakan fiskal secara garis besar adalah untuk mempengaruhi aktivitas perekonomian melalui pos pendapatan dan pengeluaran negara. Hal ini biasanya diwujudkan dalam rencana keuangan tahunan yang dibuat pemerintah atau yang biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rencana tersebut dibangun berdasarkan asumsi-asumsi ekonomi makro, yang di dalamnya meliputi banyak hal seperti target inflasi, penyerapan tenaga kerja, produk domestik bruto (PDB), neraca pembayaran (balance of payment), dan lain-lain. Sementara yang menjadi tujuan umum kebijakan moneter adalah pengedaran dan kontrol terhadap peredaran mata uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange). Otoritas moneter, yakni BI, memiliki kewenangan penuh dalam hal ini.
Jika ditinjau dari tujuannya tersebut, memang kesannya hanya kebijakan moneter lah yang relevan dalam hal ini. Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 seolah membenarkan kalau stabilitas nilai rupiah sepenuhnya masuk ranah moneter. Akan tetapi, aktivitas ekonomi tidak bisa dipisahkan dari peran uang sehingga koordinasi kebijakan fiskal dan moneter sangatlah diperlukan dalam rangka mencapai target-target tersebut di atas. Sederhananya, pemerintah yang merencanakan akan seperti apa ekonomi negeri ini dan BI yang mengatur peredaran uangnya. Inilah salah satu bentuk koordinasi antara BI dengan pemerintah. Oleh sebabnya, UU tersebut pun diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, yangmana ditambahkan beberapa ketentuan baru yang salah satunya menjelaskan tentang kewajiban BI untuk berkoordinasi dengan pemerintah. Pada nantinya, investor dan dunia bisnis akan dengan sendirinya menentukan pilihan: apakah mereka tertarik berinvestasi/berbisnis di Indonesia atau tidak. Ujung-ujungnya, ini akan mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah, sesuai dengan kondisi supply-demand yang terjadi.
Semua itu akan menjadi lebih rumit apabila faktor-faktor eksternal kita turut sertakan. Oleh karenanya, tidaklah tepat bersikap tendensius ketika terjadi gejolak pada nilai tukar rupiah. Melemah atau menguatnya mata uang kita, itu sama sekali tidak bisa kita limpahkan kepada satu pihak saja. Bagaimanapun, ketika rupiah tertekan, BI telah optimal menjalankan bagiannya dengan berbagai operasi pasar yang mereka lakukan. Begitupula dengan pemerintah, yang telah merilis serangkaian paket kebijakan ekonomi. Semuanya patut diapresiasi meskipun nampaknya rupiah masih akan menghadapi berbagai tantangan, baik skala domestik maupun global.