Auditor internal merupakan pelaksana atas suatu fungsi yang unik yang membutuhkan pemahaman bisnis dan organisasi yang baik serta kecakapan pribadi yang tinggi. Sangat penting untuk mendisain fungsi ini untuk memenuhi ekspektasi para pemegang saham dalam meningkatkan nilai tambah dengan analisis-analisis mendalam, tanpa adanya tekanan dalam pelaksanaannya.
Sesungguhnya, prolog di atas saya ambil dari kesimpulan laporannya Larry E. Rittenberg dari The Institute of Internal Auditors (IIA) yang dilakukan di tahun 2016. Saya tertarik mengangkat hal ini ke dalam blog saya karena laporan tersebut sangat relevan bagi saya. Inti laporannya mengatakan, para auditor internal ternyata tidak selalu menjalankan fungsinya secara ideal. Selalu saja ada tekanan yang mempengaruhi mereka dalam menyajikan pandangan atas temuan-temuan audit (audit findings) mereka, sebagaimana bisa kita lihat pada Grafik 1. di bawah ini.
Terlihat dalam grafik, sebanyak 23% dari 14.500 auditor internal yang disurvei di seruluh dunia mengalami tekanan, paling tidak sekali dalam karir mereka, untuk mengubah pandangan profesional mereka atas temuan-temuan auditnya dan 11% di antaranya memilih untuk tidak menjawab alias bungkam.
Yang menarik, tekanan itu terjadi di semua level auditor, mulai dari staf hingga tingkat eksekutif. Seolah mengonfirmasi peribahasa “semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya,” laporan tersebut mengatakan mereka di tingkat eksekutif lebih berpotensi mendapatkan tekanan, dimana 29%-nya mengaku mengalami tekanan minimal sekali atau setahun sekali (Grafik 2.).
Tekanan-tekanan seperti itu memang sudah menjadi rahasia umum di kalangan auditor. Bahkan ketika belum benar-benar terjun langsung ke dalam dunia audit pun, mereka sudah terlebih dahulu mendapatkan gambaran terkait potensi-potensi tekanan seperti itu dari buku-buku teks mereka semasa kuliah. Malah, dosen mata kuliah Audit saya sampai memberikan soal dengan contoh kasus terkait dalam kuisnya. Mulanya saya kira itu terlampau teknis untuk kami para calon auditor saat itu. Namun ternyata manfaatnya benar-benar terasa dalam membentuk mental, khususnya bagi diri saya pribadi. Oleh karenanya, saya sudah tidak kaget ketika mendapati banyak perusahaan yang menyaratkan “Siap bekerja dalam tekanan” saat mencari kerja.
Ya, saya tidak kaget ketika mendapati syarat seperti itu di hampir semua lowongan akunting ataupun audit. Yang mengagetkan itu ketika pertama kalinya merasakan tekanan yang dimaksud. Itu yang benar-benar menjadi pengalaman berharga bagi saya (baca: pengalaman yang rumit).
Sangat Rumit
Saya tak pernah membayangkan sebelumnya kalau jadinya akan serumit itu. Bahkan untuk menuangkan semua itu di sini pun menjadi terasa sangat rumit. Tapi tetap tidak serumit jalan pikirnya emak-emak yang nyetir motor, sih (intermezzo gak penting).
Yang lucunya, meskipun sama sekali tidak membuat saya tertawa, adalah, apa yang diberikan dosen Audit saya sebagai contoh kasusnya tadi menjadi kenyataan. It happened before my very eyes! Sayang, saya tidak bisa menceritakannya secara gamblang karena berbagai pertimbangan, tapi saya bisa mengangkat apa yang dijadikan dosen Audit saya sebagai contoh kasusnya itu untuk gambaran.
Dalam kuisnya, beliau mengajak kami, para mahasiswanya, berasumsi. “Asumsikan Anda adalah seorang auditor internal sebuah perusahaan. Anda melakukan audit kepatuhan dan menemukan beberapa kejanggalan di salah satu divisi di perusahaan Anda. Seorang kepala divisi tersebut membujuk Anda untuk tidak menyajikan kejanggalan-kejanggalan tersebut sebagai temuan audit Anda. Anda tahu ada celah untuk itu tapi sebagai gantinya kesempatan Anda untuk meraih penghargaan kerja akan terbuang. Apa yang akan Anda lakukan sementara Anda juga tahu kepala divisi tersebut adalah teman baik Anda?” Kurang lebih seperti itu soalnya.
Tentu saja tanggapannya menjadi sangat berbeda saat sedang menjawab soal tadi dengan praktiknya di lapangan. Perbedaan mendasar itu ada pada sisi psikologisnya. Secara teoritis, tentunya kita harus mengedepankan prinsip objektivitas dalam kode etik auditor, yangmana terdapat poin yang mengatur para auditor untuk menyajikan/mengungkapkan semua fakta material yang diketahuinya, yang jika tidak diungkapkan akan mendistorsi laporan atas kegiatan yang sedang ditinjau. Dan sebagai mahasiswa, sudah tentu semua akan tanpa beban menjawab seperti itu karena tidak ingin nilainya jelek. Tapi, apakah pada praktiknya nanti akan sama seperti itu? Itu yang sulit dijawab.
Ada empat prinsip yang harus dijunjung tinggi seorang auditor dalam menjalankan tugasnya, yakni: integritas (integrity), objektivitas (objectivity), kerahasiaan (confidentiality), dan kompetensi (competency). Keempat prinsip ini sungguh tidak sulit dipahami namun juga tidak mudah diterapkan, dan memang objektivitas itu menjadi satu yang terberat menurut saya. Selain karena adanya kemungkinan terjadinya hal seperti contoh kasus di atas, ada poin lain, yang masih berkaitan, yang membuatnya semakin rumit, yakni larangan terlibat dalam kegiatan atau hubungan apapun yang dapat, atau patut diduga dapat, menghalangi penilaian yang adil, termasuk kegiatan atau hubungan apapun yang mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam organisasi (ini adalah kode etik pertama dalam prinsip objektivitas).
Saya katakan rumit, karena kalau prinsip ini diterapkan secara sakelek, seharusnya seorang auditor, memang tidak akan memiliki hubungan apapun dengan siapapun yang masuk dalam lingkup atau target auditnya. Tidak akan ada itu ia pergi makan bareng, ngobrol bareng, jalan-jalan bareng, ataupun melakukan aktivitas lain semacamnya dengan mereka karena hal-hal tersebut bisa mendistorsi objektivitasnya.
Simpulan lain yang timbul dari kode etik objektivitas tadi adalah terkait bonus atau insentif yang bergantung pada kinerja perusahaan. Ini menjadi kerumitan tersendiri bagi para auditor internal mengingat seberapa baik pencapaian kinerja perusahaan pun biasanya bergantung pada hasil evaluasi dan pandangan profesional mereka. Teman-teman auditor pasti paham tentang ini.
Masih banyak sebetulnya hal-hal lain yang terpikirkan namun saya kira hal-hal di atas sudah cukup menjelaskan tentang betapa rumitnya menjadi seorang auditor internal. Tidak ada maksud apa-apa dari saya menuliskan artikel ini, selain untuk renungan, bagi saya pribadi khususnya, bahwasanya ada tugas berat yang harus diselesaikan dengan baik sesuai dengan kode etik. Syukur-syukur kalau ini pun bisa dijadikan renungan oleh teman-teman di luar fungsi audit yang senang memberikan stigma-stigma negatif kepada kami para auditor internal. Stigma-stigma seperti “musuh dalam selimut”, “pejagal”, “algojo”, dan lain sebagainya itu sangat tidak relevan bagi kami karena apa yang kami lakukan bukanlah seperti itu melainkan hanya kontrol atas kinerja untuk hasil yang lebih baik bagi perusahaan ke depannya, dan sungguh ini menjadi tekanan lain bagi kami. Betapapun juga, saya tahu inilah yang namanya risiko kerja dan hal ini bukanlah untuk dihindari, namun untuk diakali. Seorang auditor seharusnya sudah terbiasa dengan yang seperti itu, kan?