Tenang rasanya saat mendapati kabar kalau Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah resmi melarang penggunaan bitcoin dan mata uang kripto (cryptocurrency) lainnya, kompak selangkah dengan otoritas moneter beberapa negara besar lain. Dengan adanya larangan tersebut, mestinya negara kita bisa terhindar dari dampak buruk gelembung ekonomi yang timbul dari perdagangan koinan virtual.
Namun, kesimpangsiuran yang ada nampaknya harus menunda ketenangan saya itu. Pemberitaan kalau Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sedang mengkaji untuk memfasilitasi perdagangan bitcoin cs di bursa komoditi membuat saya merasa ingin kembali menyuarakan pandangan saya terkait hal ini.
Berita tersebut sebenarnya bukan barang baru dan sudah muncul dari Januari lalu. Hanya saja memang langkah yang diambil Bappebti itu membuat masyarakat masih terus bertanya-tanya soal quo vadis aset kripto di negeri ini.
Dalam sebuah wawancara dengan Tabloid Kontan, Kepala Bappebti Bachrul Chairi menyatakan, secara aturan sebenarnya tidak ada yang dilanggar jika bitcoin cs menjadi produk komoditi. Ia juga menilai, hal tersebut tidak akan bertabrakan dengan larangan BI karena perhatiannya tertuju pada statusnya sebagai komoditas, bukan alat pembayaran ataupun mata uang. Oleh sebab itu, pihaknya ingin mengkaji segala kemungkinannya. Target mereka, kajiannya rampung sebelum Juli tahun ini.
Ini sudah menjadi perhatian saya sedari awal sebetulnya. Ketika itu saya berkicau melalui Twitter pribadi saya bahwa sebaiknya larangan mereka itu dibarengi dengan aturan khusus agar bisa dieksekusi dan dipatuhi oleh seluruh pihak tanpa ada keraguan di dalamnya.
Namun apa boleh dikata, siapa saya sehingga masukan tersebut sampai kepada mereka. Sekalipun masukan saya itu sampai, nampaknya tetap saja celah yang digunakan Bappebti ini tidak bisa ditutupi oleh BI karena ranah dan fokusnya yang berbeda.
Bolehlah Kepala Bappebti berbicara teknis aturan main terkait pengawasan dan pembatasan fluktuasi harga bitcoin cs untuk melindungi investor dari kerugian yang terlalu besar karena memang kita tahu bitcoin itu teramat sangat fluktuatif harganya. Tapi, jawabannya terkait acuan fisik atau aset pendasar (underlying) bitcoin cs sangat tidak memuaskan. Itu yang belum bisa saya terima.
Betul memang undang-undang memungkinkan semua produk baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki underlying untuk diperlakukan sebagai komoditas. Hanya saja, untuk barang yang tidak ber-underlying ini rasanya perlu sangat hati-hati untuk diputuskan karena belum banyak, atau bahkan di sini belum ada, contohnya (tolong koreksi jika saya salah).
Lihatlah produk-produk komoditas seperti emas, timah, batubara, minyak kelapa sawit, rumput laut, olein, gula, kopi, karet, dan lain sebagainya, mereka semua memiliki underlying-nya masing-masing sehingga jelas juntrungannya. Dengan memperdagangkan produk-produk tersebut, masyarakat tidak perlu merasa khawatir akan dimana keberadaan barangnya dan seperti apa bentuknya. Dari segi ekonomi pun, memperdagangkan produk-produk tersebut akan lebih terasa manfaatnya karena uang berputar pada hal-hal yang produktif dan jelas tujuan juga peruntukannya.
Sekarang, bagaimana dengan bitcoin cs? Apakah mereka memiliki underlying? Jawabannya tidak. Bitcoin, litecoin, dan yang sejenisnya itu murni produk-produk virtual, tidak ada bentuk fisiknya. Kalaupun berseliweran penampakan bentuk bitcoin di internet, itu tidaklah lebih dari sekedar pajangan/ilustrasi — hasil dari imajinasi mereka-mereka yang “terlalu kreatif” dalam menggambarkan koin-koin virtual.
Maklum, untuk menarik lebih banyak perhatian, mereka memang harus mengilustrasikannya secara nyata dan seringkali mengasosiasikannya dengan emas dan perak (makanya tercipta opini: bitcoin itu emas dan litecoin itu perak).
Underlying ini memang menjadi persoalan cukup krusial bagi saya karena dengannyalah orang-orang bisa memahami apa yang sedang mereka perdagangkan. Dengannyalah mereka bisa memiliki pegangan fundamental. Dengannya pulalah mereka bisa mengetahui nilai-nilai kewajaran. Yang terpenting, underlying bisa menjaga fungsi ekonomi bursa komoditas tetap pada fitrahnya, yaitu sebagai sarana lindung nilai (hedging) dan penciptaan harga (price discovery) sebagai harga rujukan yang transparan, bukan sarana untuk para spekulan.
Maaf saja jika saya harus gamblang, tapi memang begitu adanya, kok. Bitcoin itu ajang spekulasi, tempatnya para spekulan. Berapa banyak sih yang membeli bitcoin dengan kaidah-kaidah kewajaran? Yang ada juga, mereka yang membeli bitcoin itu dikarenakan tergiur dengan booming harganya yang melesat sangat cepat hingga ribuan persen, meskipun tidak mengerti apa sebenarnya yang mereka perdagangkan. Mereka, lalu, berharap bisa menjualnya kembali di harga yang lebih tinggi kepada orang yang juga sama dengan mereka (baca: sama-sama tidak mengerti). Itulah “The Greater Fool Theory.”
Tapi memang bisa dimaklumi, sih. Wong, memang bitcoin cs itu tidak memiliki nilai wajar. Dari situ saja sudah cukup sebetulnya untuk kita menolak mengatakan bitcoin sebagai instrumen investasi karena prinsip dasar berinvestasi adalah membandingkan harga pasar dengan nilai wajarnya. Jadi, selama transaksi dilakukan murni karena ekspektasi, itu adalah spekulasi.
Kembali ke persoalan komoditas. Kalau kita kembali ke fitrahnya, seperti yang sudah saya singgung di atas, bahwa fungsi ekonomi bursa komoditas itu untuk hedging dan price discovery, maka dimana posisi yang sesuai untuk bitcoin cs dalam hal ini? Jika untuk hedging, maka hedging dari/untuk apa? Dan jika untuk price discovery, maka acuannya nanti untuk siapa? Sama sekali tidak jelas. Inipun menjelaskan sebetulnya kalau bitcoin tidak bisa dikatakan produk komoditas dan tidak layak masuk bursa komoditas.
Oleh karenanya, hemat saya Bappebti sebaiknya mengurungkan saja niatnya untuk memfasilitasi perdagangan si koin kripto. Khawatirnya, memfasilitasinya sama saja dengan mendorong gerakan berspekulasi, yang itu tidak baik bagi ekonomi. Kita memang tidak bisa secara total menghindar dari berbagai spekulasi, tapi paling tidak jangan juga difasilitasi.