Ada banyak pembicaraan akhir-akhir ini tentang PDB (produk domestik bruto) seiring dengan dihelatnya acara G20 di Bali. Katanya, ini adalah pertemuan akbar 20 negara dengan PDB terbesar di dunia, dan negara kita Indonesia termasuk di antaranya dan sedang memegang presidensinya. Hebat ya? Nah, apa yang Anda ketahui tentang PDB adalah ukuran kesejahteraan ekonomi, bukan? Sayangnya, tidak juga.
PDB adalah ukuran nilai semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara selama periode tertentu. Dengan kata lain, ia mengukur output perekonomian suatu negara. Meski terdengar cukup keren karena output perekonomian negara kita masuk 20 besar (jika benar yang dimaksud G20 adalah demikian), tetapi PDB bisa sangat menyesatkan karena beberapa alasan. Mari kita telusuri mengapa.
Salah satu masalah utama dengan PDB adalah ia mengabaikan distribusi pendapatan dalam suatu negara. Ini mengabaikan ketimpangan pendapatan yang mengacu pada distribusi kekayaan yang tidak merata. Misalnya, ketika ada kesenjangan yang besar antara si kaya dan si miskin, penghasilan si kaya tentu akan lebih tinggi.
Namun, ini tidak akan membuat negara secara keseluruhan lebih kaya — hanya si kaya yang akan lebih kaya. Dengan demikian, sisanya akan tertinggal dalam penghasilan yang rendah. Selain itu, si miskin perlu mengeluarkan uang dengan porsi yang lebih besar untuk kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal ketimbang si kaya karena mereka memiliki lebih sedikit uang.
Akhirnya, si miskin akan menggunakan uang mereka untuk membayar kebutuhan pokok mereka, dan mereka kemungkinan akan terjebak pada utang. Sementara si kaya mampu membeli barang-barang mewah. Oleh karenanya, menggunakan PDB sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi seringkali memberikan kesan bahwa suatu negara semakin kaya padahal sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya.
Selanjutnya, PDB tidak mencerminkan untuk apa ekonomi itu sebetulnya digunakan. Beberapa negara menggunakan banyak sumber daya untuk memproduksi barang-barang yang sama sekali tidak dibutuhkan orang (misalnya senjata atau barang mewah). Kegiatan yang tidak produktif ini justru dapat mengurangi kesejahteraan ekonomi suatu negara alih-alih meningkatkannya. Jadi, ketika pertumbuhan PDB dapat memberi kita kesan kesejahteraan yang luar biasa, kita harus ingat bahwa pertumbuhan tersebut tidak selalu mengarah pada peningkatan standar hidup.
Masalah penting lainnya dengan PDB adalah bahwa ia adalah ukuran aktivitas ekonomi yang tidak realistis yang tidak dapat mewakili gambaran sebenarnya dari kehidupan masyarakat. Cara menghitung PDB menggunakan asumsi bahwa setiap orang berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi yang sama dan memiliki daya beli yang sama. Pada kenyataannya, yang terjadi tidaklah demikian.
Sebagian orang menghasilkan uang yang sangat sedikit dan tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi yang sama seperti halnya yang lain. Misalnya, si miskin menghabiskan sebagian besar penghasilan mereka untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan pakaian, sedangkan orang yang lebih mampu lebih cenderung menghabiskan uang mereka untuk kegiatan rekreasi dan barang-barang mewah. Oleh karena itu, tidak masuk akal membandingkan pendapatan di berbagai negara hanya dengan menggunakan PDB.
Masalah terakhir dengan PDB adalah bahwa ia telah menjadi fokus yang lebih besar dalam beberapa dekade terakhir daripada sebelum-sebelumnya. Hal ini menyasar pada faktor-faktor lain seperti keberlanjutan sosial dan lingkungan sebagai biayanya. Negara-negara telah terbiasa dengan gagasan untuk mencapai tingkat pertumbuhan PDB yang tinggi sebagai tujuan utamanya, tanpa peduli apakah itu benar-benar demi kepentingan terbaik warga dan lingkungannya. Maka, penting untuk menggapai keseimbangan antara stabilitas ekonomi dan keadilan sosial jika kita ingin meningkatkan kualitas hidup dalam jangka panjang.
Menggunakan PDB sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi dapat memberikan kesan bahwa suatu negara menjadi lebih kaya dari waktu ke waktu meskipun hal ini tidak selalu terjadi. Suatu negara mungkin memiliki PDB yang tinggi tetapi penduduknya yang miskin tetap tidak mampu membeli kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Oleh karena itu, tidak cukup hanya meningkatkan PDB suatu negara jika kita ingin meningkatkan kualitas hidup semua orang.
Pada akhirnya, PDB tidak memberikan gambaran yang akurat tentang pertumbuhan ekonomi karena tidak mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi yang penting bagi kehidupan warga negara. Untuk alasan inilah, menurut saya, PDB seharusnya tidak boleh digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan ketika menyangkut masalah kebijakan sosial dan ekonomi.
Jadi, bagaimana kita bisa mencapai pertumbuhan yang benar-benar inklusif dan apa ukuran yang lebih baik dari PDB? Kita membutuhkan pengukuran pembangunan ekonomi yang lebih holistik dan realistis yang menggabungkan beragam kebutuhan masyarakat. Tentu ukuran-ukuran tersebut sudah ada dan semakin dipertimbangkan saat ini. Sayangnya, ini merupakan topik lain untuk kita bahas nanti.