Pembaca yang budiman, apalah arti uang bagi Anda? Apakah itu sumber kebahagiaan ataukah itu sumber masalah? Jika pertanyaan itu terasa cukup sulit untuk dijawab, silakan jujur pada diri Anda sendiri: apakah Anda tipe yang selalu “mendengarkan” uang ketika ia “berbicara”?
Kultur di negara-negara barat seolah menggiring masyarakat di belahan Bumi lainnya untuk tunduk terhadap uang. Kita bisa melihatnya dari berbagai acara TV, podcast, hingga buku yang bertemakan “Money Talks.”
Di situ, mereka seolah ingin menunjukkan bahwa pengaruh uang itu sangatlah dahsyat. Sehingga dengan tersirat mengekspresikan, “When money talks, everybody listens”.
Tapi, haruskah kita selalu mendengarkan uang? Ini adalah pertanyaan filosofis yang membutuhkan kejernihan berpikir untuk menjawabnya. Sejernih apa cara berpikir kita, itulah pertanyaan selanjutnya.
Sekarang, coba Anda tanyakan diri Anda sendiri: siapa yang akan lebih Anda dengar ketika berbicara tentang tips-tips kehidupan yang sukses, Warren Buffett atau rekan kerja Anda yang motivator medsos dadakan itu, misalnya?
Faktanya jelas, Warren Buffett adalah salah satu orang terkaya di dunia. Dia adalah investor ulung dan inspirator banyak orang untuk meraih kesuksesan finansial. Jadi, sah dan wajar saja kalau Anda memilih beliau.
Money talks, ain’t it?
Namun, terpikirkankah oleh Anda bagaimana kondisi-kondisi di belakangnya? Apakah faktor-faktor penunjang miliknya dengan milik Anda sama?
Ketika WB berkata, harga satu lembar saham sebuah perusahaan sedang sangat murah, apakah menurut Anda sama? Jelas tidak, kan? Ini yang sering kali luput dari perhatian kita.
Selembar saham perusahaan seharga $1.000, mungkin murah baginya, namun tidak bagi Anda (kecuali, Anda memang kalangan borjuis juga–saya minta maaf kalau begitu).
Lantas, masihkah kita sulit untuk menjawab pertanyaan haruskah kita selalu mendengarkan uang? Saya rasa, tidak terlalu sulit sekarang, kan? Belum lagi jika kita kaitkan hal ini dengan isu-isu lain seperti nilai-nilai, baik etika, moral, maupun agama, yang masih kental di masyarakat kita.
Mari beralih ke anekdot lain. Misalnya, kita dihadapkan pada keputusan apakah harus membeli mobil atau tidak. Saat membeli mobil, banyak orang hanya berfokus pada harga dan cicilan bulanannya.
Namun, dengan hanya pertimbangan “money talks” ini, kita mungkin mengabaikan faktor-faktor penting lainnya, seperti peringkat keselamatan, efisiensi bahan bakar, biaya perawatan jangka panjang, dan preferensi pribadi seperti kenyamanan atau desain.
Fokus yang sempit pada aspek keuangan di muka ini dapat menyebabkan keputusan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan kita atau menghasilkan biaya yang lebih tinggi dalam jangka panjang.
Ujung-ujungnya hanyalah penyesalan. Ini adalah adekdot yang sangat nyata yang dialami salah satu kerabat saya.
Mari coba satu anekdot lagi.
Misalnya, seseorang hanya memilih pekerjaan berdasarkan besaran gaji, namun ternyata lingkungan kerja atau budaya perusahaannya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ia anut. Ini juga tentu akan berujung penyesalan, yang saya yakini sudah banyak yang mengalaminya.
Jadi, haruskah kita selalu mendengarkan ketika uang berbicara?
Secara diplomatis, saya akan katakan, “Ya, dengarkanlah! Namun, tetaplah bijaksana!”
Bagaimanapun, uang adalah alat, bukan tujuan. Mari kita gunakan uang untuk mencapai impian kita, tetapi jangan biarkan uang mengalahkan nilai-nilai kita. Kita bisa menjadi kaya dengan berbagai cara, dan definisi kekayaan tidak selalu dengan jumlah uang yang ada di rekening kita.
Kebahagiaan dan kekayaan sejati tidak selalu terukur dalam angka. Terkadang, mereka tersembunyi di antara anekdot-anekdot kecil dalam hidup kita, termasuk (namun tak terbatas pada) waktu luang, kesehatan, bahkan tetangga yang bersahabat.
Tidak perlu menjadi orang yang melek finansial untuk memahami semua itu, namun tentu kondisinya akan lebih baik jika kita sudah melek finansial.
Akhir kata, bijaklah mendengarkan ketika uang berbicara.