Home » Kebijakan Tingkat Suku Bunga Negatif dan Hal-Hal terkait yang Perlu Kita Ketahui (Bagian 1)
Gambar: www.hendersonvillehomesearch.com

Bidang ekonomi semakin diwarnai oleh kebijakan-kebijakan eksperimental, salah satunya adalah kebijakan suku bunga negatif yang kontroversial. Diimplementasikan oleh beberapa bank sentral di seluruh dunia, seperti Bank Nasional Swedia, Bank Sentral Eropa, Bank Nasional Denmark, Bank Nasional Swiss, dan Bank of Japan, kebijakan ini terus memicu perdebatan dalam kebijakan moneter.

Siapa dan Mengapa Menerapkan Suku Bunga Negatif?

Untuk memahami mengapa tingkat suku bunga negatif diterapkan, kita harus lebih dulu memahami mengapa suku bunga itu sendiri diterapkan. Namun, mari kita mulai dari definisinya terlebih dahulu.

Dalam bahasa yang sederhana, suku bunga didefinisikan sebagai biaya atas suatu uang pinjaman. Teori menjelaskan mengapa biaya tersebut bisa muncul adalah, utamanya, dikarenakan adanya inflasi. Inflasi membuat uang yang kita pegang saat ini bernilai lebih tinggi dari uang yang kita pegang di masa depan.

Selagi uang Rp100.000 saat ini bisa kita tukarkan dengan 13 liter bensin jenis Pertamax, dengan inflasi beberapa tahun ke depan mungkin saja besaran bensin Pertamax yang bisa kita tukarkan dengan nominal uang yang sama akan lebih sedikit. Artinya, nilai uang di masa depan tidak akan selalu sama meskipun nominalnya tetap sama.

Inilah mengapa lalu muncul istilah nilai waktu atas uang (time value of money) dalam literatur keuangan, yakni untuk menyesuaikan nilainya. Sejalan dengan itu, suku bunga pun diterapkan oleh mereka yang sangat perhatian pada nilai pengembalian atas uang yang mereka pinjamkan.

Apa yang terjadi pada mekanisme suku bunga acuan bank sentral tidaklah berbeda: mereka (bank sentral) mengharapkan pengembalian yang sesuai atas uang-uang yang telah mereka pinjamkan ke bank-bank konvensional sehingga permoneteran bisa berjalan sesuai yang mereka harapkan.

Pada prakteknya, antara instrumen suku bunga dan inflasi memang seperti ada semacam hukum sebab-akibat yang sulit dicari agitatornya, meskipun nyatanya penggunaan instrumen suku bunga terkesan sebagai suatu akibat. Umumnya, ketika inflasi tumbuh terlalu pesat atau terlalu tinggi, bank sentral akan menaikkan suku bunga acuannya dan ketika inflasi tumbuh terlalu lambat atau terlalu rendah, bank sentral akan menurunkannya.

Dengan dilakukannya penyesuaian suku bunga seperti itu, diharapkan sisi permintaan agregat (aggregate demand) ikut tersesuaikan dan bergeser ke arah yang para pejabat bank sentral harapkan dalam suatu kurva ekonomika. Sampai sejauh mana penyesuaian (penaikan atau penurunan suku bunga) tersebut bisa dilakukan, itulah yang menjadi perhatian selanjutnya.

Dalam kondisi hawkish (penaikan suku bunga), tidak ada angka yang dapat dengan jelas dikatakan sebagai batasannya. Artinya, bank sentral suatu negara bisa saja menaikkan tingkat suku bunga acuannya ke angka yang sangat tinggi sekalipun, katakanlah ke angka 800% — seperti yang pernah dilakukan Zimbabwe, jikalau memang harus. Berbeda dengan kondisi dovish (penurunan suku bunga), yang batasnya sangat kentara secara simbolis, yaitu di angka 0% (nol persen).

Bagaimanapun juga, 0% adalah batas bawah yang telah lama disepakati dalam penerapan kebijakan moneter standar dan angka tersebut sesungguhnya belum pernah “jebol” sampai negara-negara di Eropa tadi bereksperimen.

Ada, memang, catatan dalam sejarah keuangan yang menunjukkan penggunaan bunga di bawah nol persen — yakni minus 40% oleh Swiss National Bank pada tahun 1978, akan tetapi hal tersebut secara teknis bukanlah sebuah suku bunga layaknya instrumen moneter yang sedang kita bicarakan saat ini, melainkan hanya biaya tambahan yang dikenakan pada deposit warga pendatang.

Tentu saja tidak ada aturan baku yang melarang sebuah bank sentral menerapkan kebijakan suku bunga negatif (negative interest rates policy) ini. Hanya saja, pertanyaannya, apakah hal tersebut dirasa benar-benar diperlukan? Apakah itu memang benar-benar sebuah harga mati? Dan yang terpenting, tidakkah ada risikonya?

Wajar saja kiranya kalau muncul pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) sebagai episentrum keuangan dunia sekalipun tidak (atau lebih tepatnya belum) sampai mengambil kebijakan tak lazim ini. Sebagaimana kita semua ketahui, AS telah mengalami berbagai masa ekonomi sulit, mulai dari The Great Depression di tahun 1930an sampai The Subprime Mortgage Crisis pada 2008.

Mari kita sedikit bermain data. Di bawah adalah grafik pertumbuhan ekonomi negara-negara utama, yakni AS, Uni Eropa (UE), dan Jepang. Dari situ, kita bisa lihat kalau ekonomi ketiganya mengalami guncangan hebat saat krisis keuangan melanda dunia tahun 2008.

Grafik 1. Pertumbuhan ekonomi AS, UE, dan Jepang sejak 2006. Akhir 2007 hingga pertengahan 2009 adalah masa saat AS dilanda krisis hipotek (subprime mortgage crisis).

Kita tahu kalau pusat krisis 2008 berada di AS, yang sebetulnya tanda-tandanya sudah mulai terlihat beberapa tahun sebelumnya. Sebagai sebuah episentrum, tak mengherankan kalau AS lantas mampu “menularkan” masalahnya itu pada negara-negara lain, seperti UE dan Jepang. Normalisasi yang dilakukan otoritas AS setelah krisis mencapai puncaknya pun secara tidak langsung bisa dikatakan sebagai normalisasi keuangan global.

Seperti kita ketahui bersama, AS melakukan normalisasi tersebut dengan menurunkan tingkat suku bunga acuannya hingga mendekati nol persen dan ditambah dengan tiga tahap suntikan likuiditas ke tubuh perbankan. Normalisasi ini selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan “Quantitative Easing” (QE).

Seperti halnya yang sudah disinggung di atas, baik dovish suku bunga maupun QE dilakukan dengan sasaran terdorongnya aggregat demand (AD). Istilah AD dalam banyak kasus sering digunakan sebagai kata ganti PDB (Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product/GDP), yang tak lain merupakan si ekonomi (Y) itu sendiri.

Dengan demikian, cakupannya menjadi jelas: sektor riil dan moneter. Dari sisi ekonomi riil, konsumsi (C), investasi (I), dan belanja pemerintah (G) serta ekspor-impor (eX-iM) menjadi komponen-komponen yang membentuk AD, sementara pasokan uang (M) menjadi komponen konstruktifnya dari sisi moneter. Merujuk formulasi ekonomi Y = C + I + G + (eX – iM) dan Y = M × V akan membuat kita lebih mudah mengerti tentang semua itu.

Peran uang sebagai media perantara dalam segala aktivitas ekonomi saat ini menjadi benang merah kedua formulasi tersebut. Inilah yang menjadi dasar pemikiran para moneteris dalam menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut. Ketika terjadi krisis ekonomi, sisi pengeluaran (expenditure), seperti ditunjukkan dalam formulasi ekonomi yang pertama tadi, terguncang. Alhasil ekonomi (Y) tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan.

Para moneteris, dedengkotnya khususnya — Milton Friedman, berpandangan ini lebih dikarenakan masyarakat enggan membelanjakan uangnya (baca: lebih senang menimbun uangnya) saat krisis melanda — satu hal yang sesungguhnya tidak mereka sukai karena bisa merusak perputaran uang (V) yang merupakan variabel penunjang ekonomi dalam perspektif ekonomi moneter.

Mereka sadar betul kalau hal itu tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Mereka pun sadar kalau semua yang mereka lakukan akan terbatas pada lingkup moneter (tentu saja) dan satu-satunya variabel moneter yang bisa mereka utak-atik hanyalah M.

Ya, apa yang mereka lakukan dengan suku bunga dan stimulus semacam QE itu hanya akan menyasar secara langsung pada M, bukan V. Mengapa? Karena V adalah variabel yang sangat psikologis dan kinerjanya bergantung pada perspektif masyarakat dalam memandang kondisi ekonomi negaranya, sehingga tak seorang pun dapat mengganggu-gugatnya.

Seperti halnya sisi pengeluaran pada sektor riil, V dalam kondisi krisis juga melesu sehingga menjadi ganjalan bagi ekonomi. Oleh karena itu, agar Y kembali normal (paling tidak agar tidak makin terpuruk) satu-satunya cara adalah menalangi pelemahan V itu dengan mendongkrak M. Inilah langkah pertama bagaimana instrumen moneter bekerja dalam mempengaruhi AD.

Dari situ kita bisa menangkap tujuan diterapkannya suku bunga rendah dan QE oleh AS adalah untuk meningkatkan pasokan uang melalui kemudahan kredit, baik itu untuk konsumsi maupun investasi. Jika suku bunga rendah (sedikit di atas nol persen) saja digunakan untuk mempermudah akses masyarakat dalam hal perkreditan, maka tak perlulah kita bingung dalam menerka untuk apa suatu negara menerapkan kebijakan tingkat suku bunga negatif.

Pada prinsipnya, kebijakan tingkat suku bunga negatif sama-sama bertujuan untuk meningkatkan pasokan uang melalui kredit namun dengan cara yang lebih ekstrem, yakni dengan mengenakan biaya pada kelebihan dana yang dimiliki bank-bank konvensional.

Artinya, bank sentral secara tidak langsung memaksa bank-bank yang dibawahinya untuk lebih gencar menyalurkan dananya alih-alih menimbunnya dalam brankas. Hal ini pada nantinya akan berdampak pula pada para nasabah bank-bank tersebut, yang mana mereka akan terpaksa mengeluarkan (spend) uangnya alih-alih menyimpannya (save).

Mengenai seperti apa isu-isu terkait lainnya dan dampak yang mungkin saja muncul dari penerapan tingkat suku bunga negatif ini, mungkin ada baiknya jika saya bahas pada bagian kedua artikel ini. Semoga sepenggal tulisan ini bisa menjadi pengantar yang cukup jelas untuk menerka secara utuh gambaran kebijakan tingkat suku bunga negatif di artikel selanjutnya.

Apa penilaian Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0

Tentang Penulis

1 thought on “Kebijakan Tingkat Suku Bunga Negatif dan Hal-Hal terkait yang Perlu Kita Ketahui (Bagian 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.