Home » IDF 2022: Melihat Kemajuan Indonesia Menuju Visi Negara Maju
Visi negara maju 2045 yang ingin dicapai Indonesia membutuhkan upaya dan dedikasi yang ekstra mengingat hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah.
Ilustrasi pembangunan (istockphoto.com)

Indonesia Development Forum (IDF) adalah acara tahunan yang penting bagi negara. Ini adalah forum yang mempertemukan para pembuat kebijakan, pemimpin bisnis, dan pengampu kepentingan lainnya untuk membahas perkembangan menuju visi ambisius bangsa untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.

Forum tahun ini, yang mana acara puncaknya diadakan di Bali pada November 2022, menyuguhkan diskusi unik untuk melihat tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia untuk mencapai tujuan tersebut dan mengidentifikasi prioritas utama di tahun-tahun mendatang.

Kita akan bahas apa saja tantangan dan peluang tersebut. Namun sebelum itu, mari terlebih dahulu kita bahas tentang apa itu IDF.

Sekilas tentang IDF

IDF adalah forum yang digagas oleh Prof. Bambang Brodjonegoro pada tahun 2017 saat beliau menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia. Forum ini diadakan setahun sekali untuk membahas isu-isu strategis yang paling mendesak terkait pembangunan Indonesia.

IDF dirancang dengan fase 4I, yaitu: inspire, imagine, innovate, initiate. Fase inspire adalah fase yang menghimpun sumber inspirasi perumusan kebijakan, best practices, dan kisah sukses. Fase imagine adalah rangkaian yang menampung aspirasi masa depan Indonesia.

Lalu, fase innovate adalah fase yang mewadahi diskusi produktif mengenai ide-ide pembangunan yang sudah berbentuk inovasi. Sementara fase initiate adalah fase yang berisi rencana aksi dan tindak lanjut dari IDF.

Penyelenggaraan IDF tahun 2021 sempat terkendala karena adanya pandemi Covid-19, sehingga harus diadakan secara bertahap yang puncaknya kemudian baru diadakan tahun ini di Bali, dengan tema “The 2045 Development Agenda: New Industrialization Paradigm for Indonesia’s Economic Transformation.”

Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia Taufik Hanafi yang berkesempatan membuka acara puncak IDF 2022 mengatakan bahwa IDF telah menghasilkan banyak inovasi. Ini termasuk 10 inovasi produk, 11 inovasi program proyek, 9 inovasi platform aplikasi digital, dan 13 inovasi penelitian. Ini adalah deliverable outputs yang sangat baik bagi pembangunan nasional dari penyelenggaraan IDF.

Tahun ini, tambah beliau, IDF diharapkan dapat melengkapi, memperkuat, dan meningkatkan efektivitas kebijakan pembangunan industri yang ada sehingga mampu mendorong transformasi sosial dan ekonomi di Indonesia dalam mewujudkan visi menjadi negara maju, adil, dan sejahtera.

Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Visi Negara Maju 2045

Indonesia telah membuat langkah signifikan dalam beberapa tahun terakhir untuk menjadi negara maju. Selama satu dekade terakhir, negara kita mencatatkan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata tahunan sekitar 5%, meskipun sempat terpukul dengan pertumbuhan negatif sebesar 2,1% di tahun 2020 akibat pandemi Covid-19.

Namun, bukan hal yang mudah bagi Indonesia untuk mewujudkan visi sebagai negara maju di tahun 2045 karena ini akan membutuhkan banyak upaya dan dedikasi dari para pengampu kepentingannya. Sederhananya, untuk dapat dikatakan sebagai negara maju, sebuah negara harus memiliki PDB per kapita sebesar minimal $12.536.

Ini adalah angka yang sangat signifikan bagi Indonesia untuk dicapai, mengingat PDB per kapita negara kita di tahun 2021 hanya berkisar $3,855, menurut data Bank Dunia. Ini artinya, Indonesia harus bisa mencapai pertumbuhan PDB per kapita sebesar $8,681 dalam waktu 24 tahun ke depan. Sementara jika berkaca pada data sejak 24 tahun yang lalu, Indonesia hanya mampu mengalami pertumbuhan PDB per kapita sebesar $1,736.

Meskipun demikian, visi tersebut tetap bukan sebuah “mission impossible” dan Indonesia diyakini mampu mencapainya. Hanya saja, sebagaimana dijelaskan oleh salah satu narasumber berkualitas dalam Knowledge Session IDF 2022, Prof. Ricardo Hausmann dari Harvard’s Growth Lab dan Harvard Kennedy School, visi ini akan mengharuskan Indonesia melakukan transformasi ekonomi, salah satunya melalui reindustrialisasi.

Reindustrialisasi adalah proses transformasi ekonomi yang melibatkan fokus perbaikan kinerja suatu industri atau pergeseran fokus dari satu industri ke industri lainnya. Ini sering melibatkan modernisasi dan adopsi teknologi dan metode produksi baru. Ini juga sering dilihat sebagai respons terhadap globalisasi, serta cara agar ekonomi menjadi lebih kompetitif di pasar global.

Melalui presentasi berjudul “Rethinking Indonesia’s Industrial Future,” beliau menjabarkan bagaimana posisi industri di Indonesia dalam pembangunan ekonominya. Manufaktur, jasa, dan agrikultur menjadi pemain kunci dalam hal ini, dimana produktivitas tenaga kerja di industri manufaktur tercatat tiga kali lebih tinggi ketimbang agrikultur dan dua kali lebih tinggi ketimbang jasa (grafik 1).

Grafik 1

Manufaktur merupakan kontributor penting bagi perekonomian Indonesia, dan negara ini memiliki sektor manufaktur yang besar dan beragam. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang stabil dalam industri manufakturnya, dan lapangan kerja di sektor ini secara umum berada di atas tren global.

Kita bisa saksikan kondisi tersebut pada grafik 2 di bawah.

Indonesia merupakan negara manufaktur yang produktif, namun masih kalah dari negara-negara regional.
Grafik 2

Namun, sebagaimana juga terlihat pada grafik di atas, industri manufaktur Indonesia mungkin tidak sekuat beberapa negara pembanding regionalnya, seperti China, India, atau Korea Selatan, yang telah mengalami reindustrialisasi yang signifikan dan telah menjadi pemain global utama di sektor manufaktur. Ini artinya, secara produktivitas manufaktur Indonesia masih kalah saing dari ketiga negara tersebut, bahkan juga dari Malaysia.

Lantas, apa yang mendasari perbedaan produktivitas ini? Prof. Hausmann menyebutnya dengan istilah “collective knowhow.Knowhow adalah informasi yang menunjukkan bagaimana cara mengatasi suatu masalah.

Ini tentang cara otak bekerja, dan ini bukanlah hal yang mengubah otak hanya dengan membaca atau berbicara. Ini adalah rangkaian otak yang membutuhkan waktu lama untuk mendapatkannya, dan ini menyangkut lebih dari satu otak manusia. Itulah sebabnya disebut collective knowhow.

Apa yang beliau coba sampaikan sebetulnya adalah perbedaan produktivitas tadi berkaitan dengan knowhow, dan ini dipengaruhi berbagai faktor, antara lain perbedaan teknologi, investasi, pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kerja.

Maka, negara dengan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi dan terampil, teknologi modern, dan lingkungan bisnis yang mendukung kemungkinan akan memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada negara dengan tenaga kerja yang kurang mumpuni, teknologi yang sudah usang, dan infrastruktur yang buruk.

Selain itu, produktivitas juga dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi makro, seperti stabilitas mata uang, tingkat inflasi, dan keadaan perekonomian secara keseluruhan. Secara keseluruhan, produktivitas adalah konsep yang kompleks dan multi-dimensi, dan faktor spesifik yang mendasari perbedaan produktivitas dapat bervariasi tergantung konteksnya.

Keberhasilan India, China, dan Korea Selatan dalam produktivitasnya itu tak terlepas dari transformasi ekonomi yang mereka lakukan di masa lampau. Korea Selatan, misalnya, telah bertransformasi dari ekonomi agraris menjadi produsen utama elektronik, mobil, dan barang lainnya.

China telah mengalami reindustrialisasi yang signifikan, menjadi salah satu produsen berbagai macam barang terbesar di dunia. India juga mengalami reindustrialisasi yang signifikan, khususnya di bidang teknologi informasi dan industri otomotif.

Negara-negara ini semuanya mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan peningkatan daya saing di pasar global sebagai hasil dari upaya reindustrialisasi mereka.

Kita tahu betul bagaimana besarnya Samsung dan Hyundai dari Korea Selatan. Kita tahu bagaimana masif dan kompetitifnya produk-produk yang berasal dari China. Kita juga tahu bagaimana ekonomi India besar dan orang-orangnya mampu memimpin berbagai perusahaan teknologi dunia.

Ini semua adalah bentuk daya saing yang sebetulnya juga bisa negara kita dapatkan asalkan mau untuk, sekali lagi, melakukan transformasi ekonomi.

Seperti dijelaskan oleh Prof. Brodjonegoro dalam sesinya di IDF 2022, Indonesia sebetulnya sudah punya pengalaman bagus dalam bertransformasi ekonomi di tahun 90an, dimana saat itu negara berhasil beralih dari sektor primer seperti pertanian dan pertambangan ke sektor sekunder seperti manufaktur.

Hasil mencolok dari transformasi ekonomi ini adalah Indonesia mampu naik kelas dari negara berpenghasilan rendah (low-income country) ke negara berpenghasilan menengah (middle-income country). Maka, ini membuktikan bahwa transformasi ekonomi, ketika dilakukan dengan benar, dapat meningkatkan status ekonomi suatu negara.

Ini mesti menjadi motivasi seluruh pengampu kepentingan di Indonesia jika ingin melihat negaranya beralih dari status saat ini middle-income country menjadi high-income country. Hanya dengan beginilah Indonesia akan bisa meraih legitimasi sebagai negara maju, dan visi negara maju 2045 pun akan terpenuhi.

China, India, dan Korea Selatan memang menjadi role models dalam hal ini, namun itu tidak berarti Indonesia harus menjiplak persis apa yang mereka lakukan terhadap ekonominya. Setiap negara memiliki keunikannya masing-masing, dan industri serta sektor tertentu yang paling penting bagi perekonomian Indonesia akan bergantung pada berbagai faktor, seperti sumber daya alam, tenaga kerja, dan infrastrukturnya.

Penting bagi Indonesia untuk secara hati-hati mempertimbangkan kekuatan dan peluangnya, dan memikirkan strategi terbaiknya. Kata kunci reindustrialisasi harus dimaknai secara tepat dalam hal ini. Indonesia tidak bisa menyamaratakan reindustrialisasinya dengan milik negara-negara lain.

Prof. Hausmann mengungkapkan bagaimana negara-negara seperti China, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia berhasil beralih dari industri tekstil ke industri kompleks seperti elektronik dan mesin. Poin yang bisa kita ambil dalam hal ini adalah bagaimana Indonesia harus mampu beralih ke industri yang kompleks, melebihi garmen.

Seperti yang Prof. Brodjonegoro katakan bahwa kunci keberhasilan industrialisasi suatu negara adalah jika negara tersebut berhasil membangun industri yang kompleks. Maka, di sini kita harus melihat pada industri apa saja yang dikatakan kompleks itu.

Beruntung, Prof. Hausmann pun membagikan slide yang menunjukkan hal tersebut, seperti terlihat di bawah.

Untuk menjadi negara maju, suatu negara harus bisa beralih kepada industri yang lebih kompleks.
Grafik 3

Terlihat sangat jelas bahwa industri elektronik dan mesin menjadi salah satu industri yang paling kompleks dan memiliki ukuran pasar yang besar, dan Indonesia tentu diharapkan juga bisa masuk ke industri-industri tersebut.

Namun, sekali lagi, ini harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Yang jelas, negara tidak hanya harus mengejar pertumbuhan industri manufakturnya, namun juga pertumbuhan kualitas dan kompleksitasnya.

Maka, Indonesia harus bisa menjadi negara manufaktur yang mampu memproduksi, bukan hanya sebagai negara assembly. Jika kita punya nikel dalam jumlah yang besar, Prof. Brodjonegoro mencontohkan, maka kita tidak seharusnya hanya menggali dan menjualnya, tapi juga memproduksi produk-produk turunannya yang lebih kompleks — kita harus bisa menjadi produsen baterai terkemuka di dunia.

Lalu, jika Indonesia juga punya bauksit, tambah beliau, maka harusnya bisa menjadi produsen alumina, atau lebih bagus lagi aluminium. Jadi, industri dasar ini memang harus diperbaiki dan ditingkatkan kompleksitasnya agar industrialiasi berakhir sukses.

Inilah yang dimaksud transformasi ekonomi dan reindustrialisasi dalam hal ini. Maka, tema IDF 2022 “The New Industrialization Paradigm for Indonesia’s Economic Transformaton” adalah pilihan tema yang tepat, dan ini betul-betul harus dimaknai dengan sungguh-sungguh dan dikawal penuh keberlanjutannya.

Prof. Brodjonegoro telah memberikan kisi-kisi tentang bagaimana industrialisasi ini bisa sukses, yaitu dengan penguatan sisi riset dan pengembangan (R&D) yang dikombinasikan dengan branding.

Tentu ini membutuhkan dukungan yang kuat dari APBN, mengingat ini menyangkut investasi pada pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia serta infrastruktur.

Oleh karenanya, penting bagi pemerintah kita untuk menginvestasikan dananya pada dua hal tersebut dan senantiasa melibatkan peran swasta agar industrialisasi berujung sukses dan visi Indonesia menjadi negara maju 2045 tercapai.

Apa penilaian Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.