Hampir genap dua bulan penurunan harga minyak mentah (crude) mencuri perhatian dunia. Saat ini, minyak Brent dan West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi acuan umum harga minyak dunia keduanya tercatat diperdagangkan di level US$86 per barel dan US$81 per barel, hanya terpaut beberapa poin dari level terendah dua tahunannya. Dugaan yang umum berkembang terkait penurunan ini ialah karena adanya persoalan penawaran dan permintaan (supply and demand) yang berakhir pada kelebihan di sisi penawarannya (oversupply), seperti yang sudah saya jelaskan pada artikel sebelumnya.
Persoalan seperti demikian di atas sejatinya bukanlah hal yang aneh terjadi pada segala bentuk perdagangan, apalagi perdagangan minyak yang memang sarat akan faktor penawaran-permintaan dari negara-negara yang berkepentingan. Yang menjadi perhatian, ketika faktor pendorong penawaran-permintaan tersebut dirasa tidak, atau kurang, wajar. Nah lho, bagaimana mungkin faktor pendorong penawaran-permintaan dikatakan tidak wajar?
Kalau merunut data yang sudah-sudah, persoalan oversupply seperti ini seharusnya sudah atau bisa segera ditanggulangi, apalagi dari perspektif negara-negara eksportir minyak seperti OPEC kondisi ini sangat merugikan. OPEC sebagai kumpulan kartel minyak tentu punya kekuatan untuk melakukannya. Sejarah mencatat beberapa kali kondisi seperti ini terjadi di pasar minyak dan OPEC selalu memiliki opsi untuk mengatasinya, yakni dengan cara memangkas produksi minyak hingga ke level terrendah. Hal tersebut terbukti dapat mendongkrak kembali harga minyak dunia.
Pertanyaannya kemudian, mengapa saat ini OPEC tidak melakukan hal yang sama? Jawaban yang sahih mungkin hanya bisa didapat dengan info A1 (informasi dari orang-orang dalam) namun gelagat beberapa negara OPEC dalam menanggapi kondisi ini memungkinkan kita untuk menerka gambaran besar yang sebenarnya sedang terjadi di pasar minyak dunia.
Perbedaan Sikap Arab Saudi
Beberapa negara OPEC seperti Iran, Venezuela, dan Libya, sudah menyatakan pandangannya terkait penurunan harga minyak ini. Mereka sepakat untuk memangkas produksi minyak — dan berharap anggota OPEC lainnya mengikuti — mereka guna mendongkrak kembali harga minyak dunia. Bahkan Rusia, yang tercatat pula sebagai eksportir minyak (non-OPEC), turut mendukung langkah tersebut.
Jika mengacu pada data statistiknya, tak ada yang salah menganggap langkah ini akan mendapat dukungan dari seluruh anggota OPEC termasuk Arab Saudi: anjloknya harga minyak seharusnya menjadi hal krusial bagi OPEC untuk segera diatasi guna menyelamatkan perekonomian mereka dari keruntuhan.
Namun, tidak demikian kenyataannya. Langkah yang diprakarsai Iran sejak Juli lalu tersebut terhambat perbedaan sikap dari produsen numero uno di tubuh organisasi itu — Arab Saudi. Saudi justru terkesan santai — tidak menunjukkan tanda-tanda kalau negeri monarki itu juga akan memangkas produksinya — dalam menanggapi penurunan harga ini, padahal hampir seluruh pendapatannya berasal dari minyak.
Malah, kabar yang beredar menyebutkan kalau Saudi siap menerima jika sewaktu-waktu harga minyak turun sampai ke bawah level US$80 per barel. Tanpa adanya dukungan sikap dari Saudi ini, tentu saja langkah yang akan diambil untuk mengendalikan harga minyak menjadi kurang berarti.
Skenario Arab Saudi
Seperti yang telah disinggung di atas, persoalan oversupply minyak sudah beberapa kali terjadi di masa lalu dan pemangkasan produksi sepertinya memang satu-satunya langkah yang bisa diambil oleh OPEC. Hanya saja, dengan sepertiga total produksi OPEC dikuasai oleh Arab Saudi, wewenang untuk mengatur dan menjaga stabilitas harga minyak seakan tersandar pada bahu negara suci umat muslim tersebut.
Dengan sikap Saudi yang seolah membiarkan harga minyak terus merosot seperti ini dan belum adanya penjelasan yang memuaskan dari negeri itu atas langkah yang mereka ambil, wajar kiranya jika saya menganggap ini sebagai skenario besar kerajaan Saudi. Kondisi-kondisi geopolitik terkini menjadi dasar pandangan saya tersebut.
Mematikan Langkah ISIS
Salah satu alasan yang bisa jadi pertimbangan adalah kemunculan kelompok militan bernama Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS — belakangan bermutasi menjadi Islamic State (IS). Seperti yang kita ketahui bersama, kelompok ini tak hanya menjadi ancaman bagi keamanan Irak dan Suriah namun juga masyarakat dunia pada umumnya.
Dengan munculnya ancaman dari kelompok itu terhadap kota suci Mekkah dan berbagai sumber menyebutkan kalau ISIS ditopang oleh dana yang berasal dari minyak, logis saja mengaitkannya dengan “langkah sunyi-senyap” Arab Saudi di pasar minyak dunia ini. Dibiarkannya harga minyak anjlok oleh Saudi bisa membuat ISIS kekurangan dana untuk membiayai aksinya dalam meneror dunia, khususnya Saudi sendiri.
Mempertahankan Pasar Asia
Pertimbangan selanjutnya adalah pasar Asia. Dengan status Asia sebagai konsumen utama minyak Saudi maka sangatlah penting bagi kerajaan tersebut untuk mempertahankan pangsa pasarnya di wilayah ini. Saudi mungkin akan kehilangan pangsanya jika menahan minyaknya di harga yang tinggi mengingat China — sebagai importir terbesar — sedang mengalami kelesuan ekonomi.
Selain itu Rusia pun dikabarkan siap memanfaatkan kelesuan ekonomi China — yang dapat menimbulkan efek domino kepada negara-negara Asia lainnya — ini dengan menawarkan minyaknya pada harga yang lebih murah. Kondisi yang sarat dengan doktrin pasar demikian semakin menjadikan penurunan harga minyak sebagai suatu keniscayaan yang harus diterima Saudi.
Menghambat Amerika Serikat
Lebih jauh, saya melihat adanya kemungkinan Saudi menjegal Amerika Serikat (AS). Seperti yang juga sudah saya bahas pada artikel sebelumnya, sejatinya kondisi minyak dunia yang dihargai “murah” seperti sekarang ini sangatlah menguntungkan AS mengingat statusnya sebagai net oil importer. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, minyak murah juga bisa menjadi beban bagi AS.
Bagaimanapun, AS tetap salah satu negara produsen minyak terbesar di dunia, yang tentu saja memiliki atensi pada struktur biaya. Harga minyak yang rendah bisa berdampak pada biaya produksi yang tidak efisien, apalagi dengan keadaan produksi mereka yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dengan sikap Saudi yang membiarkan harga minyak terus merosot seperti ini, berbagai perusahaan minyak internasional (international oil company/IOC) yang ada terancam gulung tikar, cita-cita AS untuk menggapai kemandirian di bidang energi pun akan terhambat. Hal ini barangkali sejalan dengan kepentingan Saudi, mengingat kontribusi AS pada pendapatan minyak negeri Raja Abdullah bin Abdulaziz itu cukup besar.