Home » Harga Minyak Berpotensi Membuat Tahun Politik semakin Menarik
Pegawai Pertamina berjalan di atas barel-barel minyak (oxygen.ie).

Tulisan ini tidak saya buat untuk menyambut tahun 2018 pada konteksnya sebagai tahun baru, melainkan konteksnya sebagai tahun politik. Sebagaimana kita tahu, kita akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini dan pemilihan umum (pemilu) tahun depan, yang pastinya akan ada banyak aksi dan atraksi politik yang bermunculan menjelang pelaksanaannya. Itulah mengapa tahun 2018-2019 disebut tahun politik. Aksi dan atraksi politik tersebut tentu akan menarik perhatian masyarakat. Namun, saya berpendapat tahun politik kali ini akan menjadi lebih menarik dikarenakan gejolak harga pasar minyak dunia.

Harga Minyak Dunia Kemungkinan Naik Lagi

Banyak yang mengira harga minyak mentah dunia akan kembali merosot pasca penurunan yang terjadi selama semester satu 2017. Bahkan Menteri ESDM kita, Ignasius Jonan, sempat mengatakan kalau kecenderungan harga minyak dunia itu turun. Nyatanya, memang tidak ada yang bisa memprediksi secara pasti (kecuali Goldman Sachs, barangkali) akan kemana harga minyak itu berlabuh. Dua minyak dunia utama, WTI dan Brent, kompak menutup tahun 2017 dengan peningkatan, dimana WTI ditutup meningkat 22% di level $60 per barel dan Brent meningkat 16% di level $65 per barel, yangmana Goldman Sachs berhasil memprediksinya secara sangat akurat.

Kini, bank asal Amerika Serikat (AS) itu kembali bullish soal prospek harga minyak. Mereka memprediksi harga minyak dunia akan melanjutkan tren naiknya dan ditutup 9% lebih tinggi di akhir 2018. Artinya, harga si “emas hitam” akan berada di kisaran $65-$70 per barel nantinya. Terasa tidak terlalu signifikan memang secara nominal, namun akan terasa berbeda kalau dilihat dari kacamata fiskal.

Sayangnya, apa yang diprediksi Goldman Sachs itu ada benarnya. Tren naik harga minyak selama 2017 tak lepas dari upaya negara-negara kartel OPEC dan non-OPEC untuk memangkas produksinya hingga sebesar 1,7 juta barel per hari (bph). Belum lama ini, mereka kembali menyepakati pemangkasan produksi dengan jumlah yang lebih besar yakni hingga sebesar 1,8 juta bph. Pemangkasan ini akan diberlakukan hingga Maret nanti yang saya yakini akan dipertahankan hingga akhir tahun ini.

Bagaimanapun, upaya para kartel tadi telah mampu mengubah kondisi kurva minyak sesuai dengan harapan mereka, dimana jumlah permintaan melebihi jumlah penawarannya (gambar 1). Jika kesepakatan baru tadi berjalan dengan lancar dan dapat berlanjut sepanjang tahun seperti yang saya yakini, sangat besar kemuningkannya harga minyak akan kembali ditutup positif tahun ini. Apalagi ada proyeksi peningkatan permintaan minyak oleh International Energy Agency (IEA) dan .

Bank Dunia memperkirakan produksi minyak Shale AS akan stabil sepanjang tahun ini sehingga pemangkasan produksi oleh negara-negara kartel akan lebih banyak berperan dalam mengerek harga minyak. Tentu saja semua proyeksi bisa rusak dengan kondisi geopolitik yang memang tak bisa diduga-duga.

Gambar 1. Grafik permintaan dan penawaran minyak dunia (sumber: IEA).

Dari segi teknikalnya pun pasar minyak tidak kalah menarik, dimana harganya sedang bertengger di level tertingginya sejak Mei 2015. Ini bisa saja menjadi penentu arah pergerakan harga selanjutnya. Sebut saja minyak Brent yang saat tulisan ini disusun berada di level $66. Level ini merupakan resisten (batas atas) harga yang jika mampu terkonfirmasi penetrasinya (break out), akan berubah menjadi support (batas bawah) harga yang mampu merangsang lebih banyak lagi aksi beli di pasar minyak dunia. Artinya, akan ada lebih banyak lagi permintaan minyak ketimbang penawarannya. Sesuai hukumnya, permintaan yang melebihi penawaran itu akan membuat harga minyak naik.

Pertanyaannya kemudian, apakah akan terjadi penetrasi atau justru pemantulan kembali (pullback) harga minyak? Jawabannya, bisa kedua-duanya. Penetrasi harga mungkin terjadi mengingat fundamental yang ada sedang sangat mendukung untuk itu, di sisi lain pemantulan kembali harga pun bisa juga terjadi mengingat lazimnya banyak terjadi profit taking ketika harga suatu aset sedang berada di puncaknya.

Namun jika dipaksa mengutarakan pendapat, saya akan menjawabnya secara analitis. Mari kita lihat sejenak gambar 2 di bawah.

Gambar 2. Grafik harga minyak Brent dengan timeframe bulanan (klik kanan pada gambar dan klik "view image" untuk melihat secara lebih jelas).

Terlihat harga minyak Brent sedang menguji level $68 yangmana adalah resisten kuatnya (strong resistance). Saya katakan resisten kuat, karena di kisaran tersebut terdapat dua indikator yang berhimpitan, yaitu garis horizontal dan Exponential Moving Average (EMA) biru. Sesuai namanya, resisten kuat umumnya tidak begitu saja bisa ditembus dan cenderung akan memantulkan kembali harga minyak. Sehingga, skenarionya, harga minyak kemungkinan masih akan berfluktuasi di bawah resisten selama beberapa pekan ke depan.

Kisaran fluktuasinya bisa dikatakan sempit karena akan mengacu pada support terdekatnya, yakni garis EMA hijau yang pada gambar di atas berada di level $63. Jika nyatanya harga minyak terus turun hingga menembus garis EMA hijau, garis EMA merah akan menjadi support berikutnya dan harga tertinggi Januari-Februari 2017, yakni $56, siap menjadi penyangganya.

Namun, perlu juga diperhatikan kalau harga minyak saat ini sedang membentuk pola Ascending Triangle. Ini adalah pola grafik (chart pattern) yang memberikan sinyal bullish kepada para investor dan trader. Pola ini memang baru bisa dikatakan valid jika telah terlihat penetrasi atau penembusan resisten dan telah menghasilkan minimal empat kali pemantulan pada resisten dan support-nya. Namun, jika melihat pada apa yang terbentuk di gambar 2 di atas, rasanya pola ini sudah bisa kita katakan 80% valid. Kita hanya perlu menunggu satu pantulan lagi dan penetrasi pada resistennya.

Meski begitu, pembentukan pola tadi bukan menjadi syarat utama untuk harga minyak melanjutkan penguatannya. Penetrasi pada resisten kuat seperti yang saya katakan di atas, tanpa terpenuhinya kriteria pembentukan pola Ascending Triangle, sudah dapat saya katakan cukup untuk pemain seperti saya menentukan posisi beli di pasar minyak dunia. Dan jika benar terjadi penetrasi yang terkonfirmasi (bukan false signal), saya sepakat dengan Goldman Sachs bahwa harga minyak dunia rata-rata akan ditutup di kisaran $70 per barel tahun ini.

Dampaknya terhadap Fiskal

Dengan demikian, semua jenis minyak akan ikut tersesuaikan ke atas harganya, termasuk Harga Minyak Mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP). Dengan harga rata-rata yang 4% lebih rendah saja, artinya ICP akan berada di kisaran $67,2 per barel akhir tahun ini atau 40% lebih tinggi dari ICP pada asumsi dasar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Kenaikan ICP bisa berdampak positif bagi fiskal kita mengingat akan ada tambahan penerimaan negara yang bersumber dari perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minyak dan gas (migas). Tapi, bisa juga berdampak buruk mengingat akan ada tambahan beban impor minyak yang bisa mengganggu neraca perdagangan kita (mengikis surplus atau bahkan menjadikannya defisit jika kenaikannya terlalu tinggi). Sayangnya, yang kedua itu terasa lebih tajam “aromanya”.

Gambar 3 menunjukkan kalau negara kita masih sebagai net oil importer. Data berkata kalau hingga November 2017, defisit neraca perdagangan migas kita tercatat sebesar US7,6 miliar. Angka ini 46% lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya dan dapat dipastikan menjadi defisit terbesar dalam tiga tahun terakhir. Itulah mengapa saya bilang beban yang ditimbulkan kenaikan harga minyak dunia terasa lebih tajam aromanya, ketimbang manfaatnya, pada anggaran negara kita.

Gambar 3. Sumber: BPS (*Estimasi, bukan dari BPS).

Selain itu, kenaikan harga minyak dunia akan membuat subsidi energi membengkak. Dalam Nota Keuangan APBN 2018 disebutkan kalau kenaikan ICP sebesar US$20 per barel akan menambah beban subsidi sebesar Rp11,68 triliun atau sama dengan Rp584 miliar untuk setiap satu dolar kenaikannya. Padahal, subsidi energi dalam APBN 2018 hanya sebesar Rp94,6 triliun, beda tipis dari outlook 2017 yang Rp89,9 triliun (gambar 4).

Gambar 4. Sumber: Kementerian Keuangan RI.

Solusi apa yang bakal pemerintah ambil untuk mengatasi pembengkakan tersebut akan menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dicermati mengingat satu-satunya opsi terbaik adalah hal yang bagi sebagian besar masyarakat tidak menarik. Ya, menaikan harga BBM bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL), bukan utang luar negeri lho ya, adalah opsi terbaik, namun sangat tidak menarik dan tidak bersahabat bagi si petahana di tahun politik.

Untuk sementara waktu, masyarakat masih bisa tenang karena pemerintah sudah memutuskan untuk tidak melakukan penyesuaian apapun terhadap harga BBM dan TDL hingga Maret mendatang. Selebihnya nanti, silakan saksikan sendiri. Kalau dipikirkan menggunakan rasionalitas politik, memang besar kemungkinan pemerintah tidak akan berani menaikkan harga, kecuali si petahana dan partai pengusungnya sudah tidak lagi bergairah mengikuti pentas politik di 2019. Namun kalau dipikirkan menggunakan rasionalitas ekonomi, opsi paling tidak populis sekalipun harusnya tetap diambil demi menjaga kesehatan anggaran.

Tapi untungnya, uraian-uraian di atas baru sekedar perkiraan. Semua orang tahu kalau setiap perkiraan bisa jadi benar dan bisa juga tidak, begitupun perkiraan harga minyak pada asumsi dasar APBN oleh pemerintah setiap tahunnya. Apapun itu, ini adalah tahun politik dan semuanya menjadi menarik untuk diselisik.

~Disclaimer on~

Apa penilaian Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.