Home » Globalisasi Stimulus Moneter Berlabel Quantitative Easing
quantitative easing sama saja mencetak uang sebanyak-banyaknya
Ilustasi quantitative easing.

Merangsang ekonomi dengan cara mendongkrak konsumsi menjadi senjata utama suatu negara agar terbebas dari belenggu krisis beberapa tahun terakhir ini. Negara-negara kuat seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE) tercatat menggunakannya. Tak mengherankan jika kemudian program yang dilabeli Quantitative Easing atau QE ini menjadi perhatian utama para pelaku bisnis dunia.

Meskipun bukan barang baru dalam dunia keuangan, program berlabel QE ini sejatinya baru tenar pada akhir tahun 2008. QE sering ditafsirkan sebagai stimulus moneter yang fungsinya sebagai pendongkrak konsumsi masyarakat.

Namun, jika boleh disederhanakan, QE ini hanyalah kegiatan mencetak uang oleh bank sentral. Bank sentral menggelumbungkan neracanya (balance sheet) dengan uang yang dicetak secara masif yang kemudian disuntikkan ke dalam sistem perbankan guna melimpahi pasar dengan likuiditas. Oleh sebab itu, QE pun sering diartikan sebagai pelonggaran likuiditas.

Motif Utama Stimulus QE

Dalam The Classical Quantity Theory of Money, Milton Friedman, peraih Nobel Ekonomi tahun 1976, menerangkan bahwa salah satu acuan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari pendapatan riilnya — Produk Domestik Bruto/PDB (Gross Domestic Product/GDP). Friedman pun menjelaskan bahwa pertumbuhan PDB senantiasa dipengaruhi oleh dua variabel yaitu peredaran uang (money supply: M) dan kecepatan dalam perputarannya (velocity of money: V), atau secara singkat: GDP = MV. Inilah yang diyakini para ekonom sebagai motif di balik “drama teatrikal” bertajuk Quantitative Easing.

Stimulus biasanya digunakan ketika perekonomian berada dalam kondisi yang berbahaya (krisis). Krisis seringkali menciptakan kepanikan yang membuat orang-orang lebih senang menyimpan uangnya ketimbang membelanjakannya. Keynesians (sebutan untuk penganut paham Keynes) percaya hal ini akan merusak keseimbangan pada sisi expenditure dalam persamaan PDB yang memuat variabel-variabel seperti konsumsi (private consumption: C), investasi (gross investment: I), belanja pemerintah (government spending: G), dan ekspor-impor (XM). Jika sisi ini terganggu, perputaran uang (V) akan melambat, pertumbuhan ekonomi pun turut tersendat.

Sebagai ilustrasi: jika seseorang membelanjakan uangnya dan si penerima juga kemudian membelanjakan uangnya, uang tersebut memiliki V sebesar dua karena telah dibelanjakan dua kali. Namun, jika uang tersebut tidak dibelanjakan melainkan hanya disimpan di bank, V-nya sama dengan nol karena uang tersebut tidak berputar sama sekali. Ilustrasi kedua inilah yang sama sekali tidak disenangi para pemikir post-keynes: uang yang tidak berputar berarti tidak produktif dan akan merusak komponen perubahan harga (price changes: P) dan pertumbuhan riil (real growth: y) yang dapat berujung pada perlambatan laju ekonomi atau bahkan deflasi. Teori ekonomi Keynes — didukung teori ekonomi moneter — tidak memperkenankan hal semacam ini sehingga stimulus menjadi anjuran.

Melancarkan stimulus (Quantitative Easing) berarti menambah M di pasaran guna menalangi V yang melambat. Pertanyaannya kemudian, mengapa fokus pada M, bukannya V? Ini dikarenakan V merupakan variabel yang tak dapat dikontrol oleh siapa pun. Velocity merupakan faktor psikologis yang bergantung pada sikap masing-masing individu (atau pelaku pasar secara agregat) dalam menilai prospek perekonomian.

Prospek yang suram akan menghambat konsumsi. Konsumsi yang terhambat akan mengurangi investasi. Minimnya investasi dapat menekan belanja pemerintah. Jika sudah begini, siklus bisnis terganggu, ekonomi pun sendu.

Pengaruhnya terhadap Dunia Global

Jika globasiasi adalah integrasi, maka globalisasi ekonomi adalah terintegrasinya ekonomi. Artinya, terdapat keadaan dimana negara-negara saling terhubung pada suatu sistem baik itu melalui jalur perdagangan (trade channel) maupun jalur finansial (financial channel). Mengaitkan dengan quantitative easing, buah paradigma yang inflation-oriented ini nyatanya berimplikasi tak hanya sebatas pada persoalan domestik negara penggunanya melainkan pula pada persoalan global.

Ambil contoh AS. Di negeri Om Sam, QE dilakukan melalui mekanisme yang kompleks: bank sentral — The Fed — melakukan pembelian surat utang (treasury bond) melalui perantara (primary dealers) — terdiri dari beberapa institusi keuangan besar seperti Goldman Sachs, Citi Bank, J. P. Morgan, dan lain-lain — yang bebasis global, mulai dari institusi keuangan sampai bank sentral negara-negara lain.

Lalu, dengan berbagai trik sulap, primary dealers menjaring entitas-entitas tadi untuk membeli kembali surat utang dengan iming-iming yield yang lebih tinggi ketimbang yang ditawarkan The Fed. Setelah itu, hasil penjualan surat utang akan dikonversikan ke dalam bentuk dolar yang nantinya akan digunakan pula sebagai alat pembayaran atas yield yang ada. Inilah cikal bakal mengglobalnya dampak dari QE.

Menyebar ke Semua Penjuru

Pembayaran yield dapat menyebabkan tergeneralisasinya permasalahan dari negara emiten ke negara investornya. Dalam kasus surat utang AS, ketika negeri liberalis itu membayarkan yield-nya pada negara-negara seperti Jepang, China, UE, dan lain sebagainya, seketika itu pula negara-negara tersebut harus menanggung risiko dari dolar yang dipegangnya. Terlebih jika AS mengalami masa-masa krisis (likuiditas kering) dimana keadaan tersebut dapat membuat yield lebih sulit untuk dibayarkan.

Keadaan seperti ini jelas akan mengancam perekonomian. Ketika para investor menganggap para dealers mengalami gagal bayar (default), mereka akan menarik kembali dana mereka. Penarikan dana ini sama saja dengan melenyapkan uang dari peredaran dan akan mengakibatkan kelesuan pada pasar yang berujung pada matinya velocity. Didasarkan keengganan akan hal ini, otoritas AS melakukan pelonggaran likuiditas agar para dealers dapat terus memenuhi kewajibannya kepada para entitas: membayarkan yield.

Akan tetapi, permasalahannya, upaya pelonggaran likuiditas ini tidak konstitusional dan hanya akan membuat yield yang diharapkan lebih tinggi — berarti utang membengkak dan berkepanjangan: yield yang lebih tinggi berarti lebih banyak dolar yang akan dibayarkan. Selain itu supply uang di pasaran pun akan meningkat dan membuat nilai uang susut serta menjadikan harga-harga barang melambung. Inilah inflasi! Dan ini pulalah risiko yang dimaksud: inflasi mengubah struktur biaya (cost structure) menjadi lebih tinggi yang tak hanya akan dirasakan oleh AS melainkan pula negara-negara lain yang terikat dalam suatu rantai bisnis dengan AS.

Selain melalui struktur biaya, neraca perdagangan (trade balance) pun dapat menjadi skema alternatif penyebaran dampak QE dari AS. Dikarenakan statusnya sebagai standar mata uang dunia (global reserve currency), dolar AS akan selalu digunakan sebagai alat transaksi dalam segala bentuk perdagangan dunia (paling tidak ini yang terjadi sekarang).

Kas surplus (pihak yang surplus) dan kas defisit (pihak yang defisit) pun sudah barang tentu di sini. Surplus perdagangan (trade surplus), membuat dolar yang diterima lebih banyak, sedangkan defisit perdagangan (trade deficit) membuat kas negara berkurang. Pada kas surplus, dolar yang masuk dijadikan cadangan devisa (foreign exchange reserves) yang berfungsi sebagai penjamin mata uang lokal yang akan diterbitkan. Sementara kas defisit (dalam keadaan tertentu) mungkin saja memilih langkah utang sebagai solusinya.

China menjadi contoh menarik dalam hal ini. Negeri komunis itu menjadi salah satu negara yang sangat rawan terkena imbas dari program cetak uang (khususnya di AS) dikarenakan neraca pembayaran (balance of payments) yang terus mengalami surplus atas rival-rivalnya. Terlebih surplus perdagangan China dengan negara-negara kuat seperti AS dan Uni Eropa terus melebar. Hal ini membuat China harus mengkonversikan lebih banyak dolar ke dalam bentuk mata uangnya, yuan.

Maklum saja, China memang dikenal sangat konservatif dalam mengontrol uang yang masuk ke negaranya sehingga ketika ada dolar masuk, mereka akan langsung menahannya dalam brankas bank sentral mereka (People Bank of China/PBOC) dan mengkonversikannya dengan yuan. Semakin banyak dolar yang masuk, semakin banyak pula yuan yang dicetak. Dari sini, Inflasi pun merebak. Ujung-ujungnya, ini akan berdampak pada pengerekan struktur biaya di China dan negara-negara partner dagangnya.

Melalui skema yang sama, hal serupa dapat terjadi dimana pun, termasuk di negara-negara berkembang (emerging markets). Pada negara-negara seperti Brazil, India, Indonesia, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam, inflasi yang datang tak hanya melalui neraca perdagangan dan pengerekan struktur biaya melainkan pula skema yang lebih dinamis, yakni hot money.

Pencetakan uang di AS telah menyebabkan pasar kebanjiran likuiditas sehingga dana menjadi lebih mudah didapat. Sebagian dana tersebut kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia terutama negara-negara berkembang. Dana inilah yang disebut hot money.

Derasnya hot money yang masuk (hot money inflow) membuat uang yang beredar semakin banyak. Sebagai hasilnya, harga-harga merangkak naik — lagi-lagi inflasi. Kenaikan harga-harga aset seperti pada perdagangan saham menjadi contoh empiris dalam kasus ini. Tak aneh, ketika dana tersebut pergi, pasar saham pun seperti “kekurangan gizi.”

Inflasi akan lebih menakutkan ketika hal-hal yang bersifat prinsipil ikut terkena imbasnya. Misalnya saja harga-harga makanan. Ini bisa terjadi apabila komoditas yang notabene merupakan bahan pokok pembuatan makanan seperti gandum, gula, kopi, jagung, kedelai, dan minyak terkerek harganya. Jika hal yang mendasar saja naik, sudah barang tentu harga-harga barang lainnya pun ikut naik. Tenet ini berlaku di semua negara, terutama negara-negara pengimpor bahan baku makanan.

Negara-negara di Timur Tengah barangkali boleh kita jadikan sampel dalam hal ini. Sekedar tambahan, kerusuhan yang terjadi di Tunisia dan dengan cepat merambat ke Mesir, Jordania, Moroko, Libya, dan sekitarnya tak bisa begitu saja dilepaskan dari persoalan ekonomi. Beban fiskal akibat subsidi bahan baku makanan membuat negara-negara tersebut lebih sulit bertahan dari “terjangan ombak” inflasi.

Ketika pemerintahnya mulai fokus membenahi kondisi fiskal dengan menaikkan pajak ataupun mencabut subsidi, rakyat menjadi semakin tercekik. Kesejahteraan rakyat yang carut marut — sementara para diktator tetap arogan dengan segala kemewahan — sangat mungkin menjadi katalis yang bersifat provokatif. Tak heran, ini memicu terjadinya demonstari besar-besaran. Kerusuhan pecah dan dengan cepat menyebar, revolusi pun tak dapat terhindarkan (fenomena ini kemudian dikenal dengan sebutan Arab Spring).

Rasanya sudah bisa ditebak, apa yang akan terjadi apabila perekonomian negara-negara Arab sampai mati akibat fenomena tersebut. Betul sekali, melambungnya harga minyak dunia! Bagaimana selanjutnya jika harga minyak dunia melambung? Silakan Anda tebak sendiri.

Begitulah quantitative easing dengan produk utamanya: inflasi. Inflasi pada dasarnya memang sukar terkendali. Ia bisa menyebar dari satu sisi ke sisi lain, dari satu sektor ke sektor lain, dan dari satu negara ke negara lain, dengan cepat dan dengan cara yang tak bisa diprediksi.

Saat ini naif, berbicara menghindari dampak inflasi karena ia sudah tergeneralisasi. Ia pun seakan sudah menjadi afirmasi yang mengukuhkan opini akan buruknya deflasi yang selalu dibumbui kata resesi. Kalau sudah begini, harus diakui, jika inflasi telah menjadi suatu hal yang pasti selain kata “mati.” Tak perlu berandai-andai bagaimana dunia ini tanpa inflasi. Berdoa saja supaya ibu pertiwi bisa terhindar dari konfrontasi krisis ekonomi baik yang ada saat ini maupun nanti.

Tentang Penulis

1 thought on “Globalisasi Stimulus Moneter Berlabel Quantitative Easing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.