Home » Biaya Mahal sebuah Kepemimpinan yang Gagal
Kepemimpinan yang gagal menimbulkan biaya yang sangat mahal.

Kepemimpinan (leadership) adalah suatu keahlian yang sangat penting dan memiliki dampak besar terhadap kesuksesan sebuah bisnis. Seorang pemimpin yang baik memang tidak dijamin seratus persen bisa membawakan kesuksesan bagi bisnisnya, namun kesuksesan sudah tentu tidak akan bisa dibawakan oleh pemimpin yang buruk. Pemimpin yang buruk hanya akan membawakan kegagalan dan kepemimpinan yang gagal akan menimbulkan biaya yang sangat mahal.

Prolog di atas sesungguhnya terinspirasi dari realitas yang saya dapati sewaktu saya bekerja di suatu tempat. Sangat nyata bagi saya bagaimana inkompetensi seorang pemimpin dapat menjerumuskan sebuah organisasi bisnis ke dalam lembah krisis. Bahkan sebuah bisnis yang sudah mapan (settled) dan dengan kondisi keuangan yang baik sekalipun bisa menjadi kacau-balau jika diganjar dengan pemimpin yang tidak kompeten.

Kepemimpinan sejatinya dapat diukur dari berbagai aspek, baik yang sifatnya kualitatif maupun kuantitatif. Integritas, gaya komunikasi, gaya kepemimpinan, sikap kerja, ataupun cara yang bersangkutan membangun citra dan wibawa adalah beberapa bagian dari aspek kualitatif yang sangat subjektif. Sementara aspek yang lebih objektif, yakni kuantitatif, lebih melihat kepada data yang ada, seperti pertumbuhan pendapatan usaha, laba bersih, kas dari aktivitas operasi, penetrasi pasar, pertumbuhan jumlah pegawai, pengembalian investasi, tata kelola, dan lain sebagainya.

Dikarenakan bentuknya yang lebih jelas, aspek kuantitatif ini menjadi yang lebih umum digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur kinerja para insan, termasuk direksi, di sebuah organisasi bisnis. Dan dalam kesempatan kali ini, fokus bahasan akan lebih bertumpu pada aspek ini.

Kerugian Kepemimpinan yang Gagal

Sebagian besar mungkin akan mengatakan kerugian nyata dari sebuah kepemimpinan yang gagal adalah hilangnya pendapatan. Meskipun itu benar dan memang menjadi satu di antara beberapa fokus bahasan saya di sini, nyatanya ada kerugian-kerugian yang sifatnya lebih luas dan substansial dari sekedar hal-hal yang bersifat moneter itu.

Oleh karenanya saya akan membaginya dalam dua perspektif di bawah.

Dari Perspektif Ekonomika

Kehilangan Peluang

Terdapat berbagai literatur dengan rincian yang beragam terkait kriteria kepemimpinan yang ideal. Mayoritas sepakat bahwa cerdas menjadi kriteria paling mendasar yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Pemimpin yang cerdas akan senantiasa dapat memilih dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh organisasinya dengan efektif.

Pemimpin yang tidak memiliki kriteria ini (baca: tidak cerdas) akan sangat sulit mengembangkan bisnisnya. Bahkan yang lebih buruk, akan sangat sulit dalam menjalankan operasinya sehari-hari. Oleh karenanya tidak salah kiranya kalau ada yang berpendapat ketidakcerdasan memiliki interelasi dengan kepemimpinan yang gagal.

Tidak konsisten, sering bimbang, tidak mandiri dalam berpikir atau mengeksekusi keputusan, tidak mampu berpikir strategis, dan tidak mengerti apa yang sedang ia kerjakan adalah di antara kriteria-kriteria pemimpin yang tidak cerdas. Dalam realitas yang saya hadapi, ketidakcerdasan ini seringkali menimbulkan biaya berupa hilangnya oportunitas. Inilah kerugian pertama dalam perspektif ekonomika.

Meraih oportunitas/peluang adalah kunci emas (golden key) untuk bisnis yang berkembang. Kita tidak pernah tahu kapan keberhasilan menyelesaikan sebuah proyek/pekerjaan dapat memberikan kita akses kepada peluang-peluang yang lain.

Ibarat sebuah teka-teki gambar, kita akan lebih mudah menyelesaikannya ketika kita telah menemukan satu demi satu potongan gambar yang sesuai. Seorang pemimpin yang cerdas selalu tahu fakta ini.

Oleh sebab itu, pemimpin cerdas akan selalu mengutamakan kepuasan pelanggan dan kualitas produk/jasanya dengan terus melakukan perbaikan dan berinovasi bagi organisasi yang ia pimpin setiap harinya. Sementara, seorang pemimpin yang tidak cerdas akan mengabaikan hal tersebut.

Pemimpin yang tidak cerdas hanya bisa melihat segala sesuatunya dari kacamata “saat ini” dan mengukurnya demi kepentingan dirinya sendiri. Inovasi dan improvisasi adalah kata-kata yang asing di telinga mereka sehingga tak mengherankan jika mereka kehilangan banyak peluang dan pangsa pasar.

Kehilangan Produktivitas

Pemimpin yang tidak cerdas akan memakan waktu lebih lama dalam membuat keputusan dan seringkali harus melibatkan banyak pihak hanya untuk membantunya berpikir. Inilah yang saya maksud tidak mandiri dalam berpikir.

Saya menyaksikan betul bagaimana pemimpin seperti ini justru membuat kinerja anak buahnya tidak efektif dan membuat produktivitas menurun. Bagaimana mungkin mereka bisa bekerja produktif jika terus dilibatkan dalam rapat yang memakan waktu seharian dan dilakukan hampir setiap hari dalam sepekan. Apalagi rapat demi rapat yang dilakukan itu justru tidak membuahkan hasil yang memuaskan.

Sebuah fakta menarik dari Harvard Business Review menyebutkan bahwa 65% dari 182 manajer senior dari berbagai industri yang disurvei mengatakan rapat menghambat mereka dalam menyelesaikan pekerjaan. Lalu 71% mengatakan rapat tidaklah produktif dan efisien. 62% menyatakan rapat membuat sebuah tim kehilangan kesempatan untuk mempererat hubungan para anggotanya. Yang paling menarik, sebesar 64% mengatakan rapat adalah imbas dari ketidakmampuan seorang pemimpin berpikir secara mendalam.

Subjek terakhir dan hasilnya tadi semakin menguatkan hipotesis saya bahwa kecerdasan adalah bagian tak terpisahkan untuk sebuah kepemimpinan dan ketidakcerdasan pemimpin identik dengan kepemimpinan yang gagal.

Selagi sebagian orang mungkin berpikir survei di atas adalah anjuran untuk tidak mengadakan rapat, saya lebih memandangnya sebagai rujukan untuk tidak terlalu banyak menyita waktu para pegawai untuk ikut serta dalam rapat yang tidak ideal dan berlarut-larut. Apalagi sekadar untuk membahas hal yang sebetulnya bisa dipikirkan sendiri.

Pemimpin yang cerdas tidak akan mau menjadikan produktivitas pegawainya sebagai biaya peluang untuk rapat yang tidak bermanfaat.

Kehilangan SDM

Saya tidak sependapat jika ada yang mengatakan bahwa menghadapi pemimpin yang tidak cerdas terkadang lebih menyusahkan ketimbang menghadapi pemimpin yang killer. Menurut saya, akan lebih tepat jika kalimat tersebut tidak menggunakan kata “terkadang.”

Ketidakmandirian berpikir pemimpin tadi saja sudah menyusahkan para pegawai sebetulnya. Faktanya sudah jelas, tidak ada pegawai yang senang jika waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan tersita, apalagi disita hingga berjam-jam lamanya.

Belum lagi jika ditambah dengan keharusan untuk menghadapi kriteria ketidakcerdasan lainnya, sebagaimana disebut di atas. Yang ada mereka justru akan merasa stres dan terdemotivasi. Jika sudah demikian, bisa-bisa mereka menjadi tidak kerasan dan pergi meninggalkan perusahaan. Akhirnya perusahaan kehilangan sumber daya manusia (SDM), inilah kerugian selanjutnya dari sebuah kepemimpinan yang gagal.

Meskipun pengunduran diri pegawai adalah hal yang lumrah dalam sebuah organisasi, tetap saja itu merupakan sebuah kehilangan, terlebih jika yang mengundurkan diri adalah pegawai yang kompeten di bidangnya.

Aforisme “Karyawan adalah aset perusahaan” mestinya cukup untuk kita memahami hal tersebut.

Kehilangan Daya Tawar

Satu hal yang menurut saya sering dianggap sepele oleh seorang pemimpin yang tidak cerdas adalah ketidakcerdasannya itu, dengan kerugian-kerugiannya tadi, seringkali menghancurkan reputasi organisasi. Hal ini membuat organisasinya kehilangan wibawa dan tidak memiliki daya tawar di mata para mitra kerjanya.

Salah besar jika menganggap hal ini tidak memiliki dampak materiil. Justru ini adalah cikal bakal sebuah perusahaan mendapatkan kontrak kerjasama yang menguntungkan dan berkelanjutan.

Tidak berdaya tawar hanya akan membuat sebuah perusahaan tertunduk takluk dalam berbagai proses negosiasi, sehingga tak jarang menyebabkan perusahaan terpaksa mengambil kontrak kerjasama yang tidak terlalu menguntungkan. Lebih parah lagi, yang secara hitung-hitungan merugikan pun tak jarang pula terpaksa diambil.

Yang demikian itu menurut saya adalah seburuk-buruknya pemimpin sebuah perusahaan.

Dari Perspektif Akuntansi

Kehilangan Pendapatan

Sebagaimana statusnya yang sebagai pos teratas (top line) dalam Laporan Laba Rugi (Income Statement), pendapatan menjadi fokus paling utama bagi setiap pemilik bisnis dalam menjaga kelangsungan usahanya. Untung/ruginya sebuah perusahaan, nantinya, akan sangat dipengaruhi olehnya. Semakin tinggi sebuah perusahaan memperoleh pendapatan, semakin besar pula ruang bagi mereka untuk meraup keuntungan.

Sebaliknya, semakin ciut pendapatannya, semakin sempit ruang untuk meraup keuntungan. Itupun dengan asumsi baik bahwa pendapatannya masih lebih besar dari beban-bebannya. Jika tidak, bukannya meraup keuntungan, adanya malah menderita kebuntungan.

Premis di atas bahkan bisa kita lihat manifestasinya dalam key performance indicator (KPI) pemimpin/direksi sebuah perusahaan. Selain dari pertumbuhan pendapatan itu sendiri, dalam KPI mereka itu biasanya terdapat butir lain bernama BOPO (beban operasional terhadap pendapatan operasional), dimana perhitungannya dilakukan dengan rumus: (beban operasional ÷ pendapatan operasional) × 100%.

Semakin tinggi rasio BOPO, semakin tidak efisien operasional sebuah perusahaan. Oleh karenanya, ada dua cara untuk mendapatkan nilai BOPO yang bagus: 1) meningkatkan pendapatan atau 2) menekan biaya. Cara pertama adalah yang paling disukai sekaligus paling tidak mudah dan cara yang kedua adalah yang paling tidak disukai sekaligus paling mudah.

Pemimpin yang tidak cerdas akan sangat sulit meraihnya dengan cara yang pertama karena sudut pandangnya yang sempit dan tidak berfokus pada pelanggan (customer centric). Dengan sudut pandang seperti itu, jangankan mendatangkan pendapatan, bisa-bisa malah menambah beban. Alhasil, tak satupun dari cara di atas yang akan tercapai.

Fakta menarik terkait hal ini datang dari dua institusi ternama. Menurut perhitungan DDI, satu pemimpin yang buruk (saya lebih senang menyebutnya tidak cerdas) merugikan satu perusahaan lebih dari $126.000 selama setahun karena rendahnya produktivitas, pergantian, dan pertikaian. Sementara itu, menurut laporan Gallup, kepemimpinan yang gagal telah merugikan perusahaan-perusahaan di Amerika setengah triliun dolar setiap tahunnya.

Terlepas dari perbedaan angka yang dihasilkan, kedua penelitian tersebut memiliki esensi yang sama, yaitu kepemimpinan yang gagal sangatlah berbiaya mahal.

Kekeringan Likuiditas

Ketidakcerdasan pemimpin dalam mengambil keputusan, khususnya dalam menentukan seperti apa seharusnya sebuah kontrak kerjasama dimaktubkan, dapat berdampak pada kacaunya arus kas perusahaan yang berujung keringnya likuiditas.

Kondisi ini sering terjadi pada perusahaan yang memainkan peran sebagai subkontraktor (subkon) dalam suatu proyek. Subkon adalah istilah bagi perusahaan yang, dengan pertimbangan tertentu — yang mestinya efisiensi, memilih untuk “berbagi kue” dengan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu proyek yang diberikan oleh pemilik pekerjaan atau bohir (bouwheer).

Ketika memutuskan untuk menjadi subkon, pimpinan perusahaan mestinya jeli dengan klausul-klausul kontrak yang ada, terutama terkait tata cara pembayaran. Ketika kontrak dengan bohir menyatakan pembayaran dilakukan dalam empat termin, misalnya, kontraknya sebagai subkon dengan pihak ketiga atau vendor pun mestinya menyesuaikan (istilahnya back to back).

Tentu siapapun akan berharap pembayaran bisa dilakukan sepenuhnya dimuka, atau minimal dengan jumlah termin yang paling sedikit. Ini yang mesti bisa diatasi oleh perusahaan subkon kepada vendornya. Jangan sampai perusahaan memperoleh kontrak dengan vendor yang klausul tata cara pembayarannya lebih singkat ketimbang dengan bohir. Ini adalah maturity mismatch.

Jika terjadi, ini akan menyebabkan perusahaan, pada titik tertentu, harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk vendor daripada yang didapatkannya dari bohir. Meskipun secara keseluruhan perusahaan memproyeksikan akan meraup keuntungan di ujungnya, tetap saja arus kasnya (cash flows) akan terganggu karena harus menalangi biaya untuk vendor terlebih dahulu.

Jika untuk satu atau dua proyek saja, sih, mungkin hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah berarti. Namun akan beda ceritanya jika seluruh kerjasama dilakukan secara urakan seperti itu. Perusahaan bisa kehilangan kemampuan untuk membayar kewajiban jangka pendeknya. Inilah yang dimaksud likuiditas kering. Dan tidak menutup kemungkinan ini juga akan mengganggu kondisi solvabilitas perusahaan.

Arus Kas Operasi Kacau

Arus kas operasi yang positif adalah dambaan entitas bisnis manapun. Nilai yang positif itu mencerminkan operasional perusahaan berhasil mendatangkan uang, bukan menghamburkannya. Apalagi jika nilainya itu bisa menutupi keperluan perusahaan dalam aktivitas investasinya. Tak heran jika ini menjadi salah satu butir dalam KPI seorang direktur utama sebuah perusahaan.

Kunci sukses meraih arus kas operasi yang positif adalah dengan memperbanyak pendapatan dan mengejar pemasukan dari pelanggan. Terlepas seberapa besar pembayaran kepada vendor dan karyawan, pemasukan dari pelanggan harus mampu menutupi jumlah total kedua pembayaran tersebut agar hasilnya positif.

Karena kecenderungannya merugikan (menghilangkan pendapatan -red) perusahaan, kondisi itu bukanlah untuk diraih oleh pemimpin yang tidak cerdas. Mari kita gunakan contoh ketidakcerdasan sebelumnya dimana pimpinan sebuah perusahaan (sebut saja PT Eh Dia Lagi) memutuskan untuk berperan sebagai subkon dalam sebuah proyek.

Katakanlah kontrak perusahaan dengan bohir memuat klausul tata cara pembayaran empat termin dengan nilai total Rp16.000.000.000, sedangkan kontrak perusahaan dengan vendor menyatakan pembayaran dengan tiga termin dengan nilai total Rp15.000.000.000.

Dengan asumsi kewajiban termin pertama dilakukan para pihak di periode akuntansi yang sama, maka perusahaan akan mencatat penerimaan dari bohir sebesar Rp4.000.000.000 (Rp16.000.000.000 ÷ 4) dan pembayaran kepada vendor sebesar Rp5.000.000.000 (Rp15.000.000.000 ÷ 3). Dengan kata lain, terjadi arus kas operasi negatif sebesar Rp1.000.000.000 (Rp4.000.000.000 – Rp5.000.000.000).

Belum lagi jika ditambah pembayaran gaji karyawan, asumsikan, sebesar Rp2.000.000.000. Arus kasnya akan semakin tekor menjadi minus Rp3.000.000.000, sebagaimana nampak pada gambar di bawah.

Contoh Laporan Arus Kas dengan Arus Kas Operasi negatif hasil dari kepemimpinan yang gagal

Ini baru sekadar memperhitungkan satu buah proyek. Bisa dibayangkan bukan jika seluruh proyek diambil dengan ugal-ugalan seperti itu?

Kondisi ini penting untuk dijadikan perhatian pemimpin perusahaan manapun karena arus kas operasi yang negatif ini akan mempengaruhi hasil akhir kas dan setara kas pada Laporan Arus Kas periode yang bersangkutan. Jika tidak ada talangan arus kas positif dari aktivitas investasi dan pendanaan, maka dipastikan kas dan setara kas di akhir periodenya akan juga negatif.

Namun apa yang bisa dibanggakan dengan mendapatkan arus kas investasi dan pendanaan yang positif jika itu berarti perusahaan menjual aset tetapnya dan menambah utang yang tidak produktif?

Frasa “Cash is king” memang populer dan relevan dalam hal ini, namun kas yang dominan didapat dari aktivitas operasi akan jauh lebih kredibel.

Susutnya Modal Kerja

Modal kerja (working capital) dalam akuntansi didefinisikan sebagai selisih dari aset lancar dikurangi liabilitas/utang jangka pendek. Jika PT Eh Dia Lagi memiliki aset lancar sebesar Rp50.000.000.000 dan utang jangka pendek Rp70.000.000.000, maka modal kerjanya adalah minus Rp20.000.000.000.

Normalnya modal kerja bernilai positif sebagai potret bahwa perusahaan memiliki kemampuan lebih untuk beroperasi jikalau sewaktu-waktu harus membiayai semua utang jangka pendeknya dengan aset lancar yang ada. Hanya, ketika berbicara kepemimpinan yang gagal, kondisi di atas tidaklah menjadi sebuah kemuskilan untuk dicerna.

Prinsip akuntansi yang berlaku umum memerintahkan pencatatan dilakukan secara akrual, sehingga pendapatan akan dicatat bersandingan dengan piutang usaha. Seperti halnya kas, piutang usaha adalah kelompok akun permanen yang likuid atau mudah diuangkan sehingga masuk ke dalam kelompok aset lancar dalam Laporan Posisi Keuangan. Tanpa adanya pendapatan, perusahaan tidak mungkin bisa mencatatkan piutang usaha.

Dengan begitu, gagalnya seorang pemimpin membawakan pendapatan akan mengakibatkan perusahaan kehilangan salah satu pendongkrak nilai aset lancarnya. Jika kita ikutsertakan juga ilustrasi arus kas negatif di atas, tentu nilai aset lancarnya akan semakin jeblok. Maka, mudah sekarang bagi kita memahami mengapa modal kerja bisa bernilai negatif.

Dengan kata lain, perusahaan dengan kerugian operasi yang signifikan dapat menyebabkan modal kerjanya menyusut dengan cepat. Kehilangan modal kerja yang signifikan dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya perjanjian pinjaman yang ada, tidak dapat memperoleh pinjaman baru atau menarik investor, bahkan mungkin kehilangan kemampuan untuk membayar tagihan dengan tempo 30 hari secara tepat waktu. Operasi bisnis yang tidak menguntungkan dikombinasikan dengan hilangnya modal kerja dapat membahayakan kemampuan perusahaan untuk terus beroperasi.

Meningkatnya Biaya Modal

Masih berkaitan dengan ilustrasi modal kerja yang jeblok di atas, terdapat berbagai cara bagi sebuah perusahaan agar bisa memperbaikinya, di antaranya adalah 1) mengajukan pinjaman jangka panjang, 2) menjual aset tetap, dan 3) meminta suntikan dana pemegang saham.

Menggunakan contoh kasus PT Eh Dia Lagi tadi, cara yang pertama itu jelas akan sangat sulit dilakukan. Dengan aset lancar Rp50.000.000.000 dan utang jangka pendek Rp70.000.000.000, bukan hanya modal kerja yang nilainya jeblok, tapi juga rasio lancarnya (current ratio). Dengan membagi aset lancar dengan utang jangka pendeknya itu, kita akan mendapatkan rasio lancar sebesar 0,71 (atau 0,71 : 1). Rasio lancar yang kurang dari 1 itu menandakan perusahaan tidak likuid dan ini sangat tidak disukai oleh kreditur.

Sementara cara kedua terkadang dianggap lebih banyak menghambat jalannya bisnis, cara ketiga menjadi yang paling diharapkan. Namun yang tak jarang luput dari perhatian, suntikan dana ini pun dapat menimbulkan biaya yang tak kecil, yang disebut biaya modal (cost of capital).

Suntikan dana pemegang saham yang diterima perusahaan nantinya akan menambah porsi ekuitas dan mengurangi porsi utangnya. Itu artinya mengubah struktur modal perusahaan. Jika sebelumnya struktur modal perusahaan terdiri dari, misalnya, 30% utang dan 70% ekuitas, setelah mendapat suntikan dana pemegang saham porsinya bisa menjadi 20% utang dan 80% ekuitas.

Dalam sudut pandang keuangan korporat (corporate finance) struktur modal yang demikian itu (20 : 80 -red) justru akan lebih mahal bagi perusahaan ketimbang struktur modal sebelumnya (30 : 70 -red). Hal ini disebabkan pengembalian atas ekuitas (cost of equity) yang selalu lebih tinggi daripada pengembalian atas utang/pinjaman (cost of debt). Terkait mengapa hal ini bisa terjadi, saya akan ulas di artikel khusus.

Namun tidak ada salahnya jika saya ilustrasikan sedikit di sini.

Anggap dengan struktur modal 30 : 70, PT Eh Dia Lagi dituntut berupa biaya pinjaman dari kreditur sebesar 11% dan biaya ekuitas dari pemegang saham sebesar 20%. Maka, dihitung dengan rumus biaya modal rata-rata tertimbang (weighted average cost of capital), yaitu (0,30 × 0,11) + (0,70 × 0,20), perusahaan akan memiliki biaya modal sebesar 17,3%.

Lalu, setelah ekuitasnya meningkat dan struktur modalnya berubah menjadi 20 : 80, dengan asumsi biaya pinjaman dan biaya ekuitasnya tetap sama, biaya modal perusahaan akan berubah menjadi 18,2% [(0,20 × 0,11) + (0,80 × 0,20)]. Terjadi kenaikan bukan?

Menariknya, kenaikan ini hanya berlaku pada kondisi meningkatnya porsi ekuitas dalam struktur modal, tidak pada meningkatnya porsi utang. Silakan saja Anda simulasikan dan buktikan sendiri kalau tidak percaya.

Jadi, apakah itu artinya menambah utang lebih baik ketimbang menambah ekuitas? Sepenggal kata “Ya” atau “Tidak” saja akan terlalu sederhana untuk menjawabnya sehingga akan lebih elok jika saya ulas secara mendetail di artikel khusus. Yang jelas, pemimpin cerdas tahu akan hal ini.

Konklusi dan Saran untuk Menghindari Dampak Kepemimpinan yang Gagal

Pemimpin yang tidak cerdas sangat identik dengan kepemimpinan yang gagal. Banyak sekali kerugian yang dapat dihasilkan dari sebuah kepemimpinan yang gagal, yang jika tidak segera ditanggulangi, dampaknya akan sangat luas dan sistemik bagi kelangsungan hidup sebuah usaha.

Cara paling ampuh untuk mengindar dari dampak kepemimpinan yang gagal tentunya adalah dengan tidak memilih seseorang yang tidak berkapasitas untuk memimpin. Ini adalah pelajaran berharga bagi siapapun yang berwenang untuk senantiasa memilih orang yang tepat di tempat yang tepat. Istilah bekennya “Put the right man in the right place.”

Apapun kriteria yang akan digunakan dalam memilihnya, silakan tentukan sesuka hati. Yang jelas, cerdas mestinya menjadi ukuran yang bobotnya sangat besar. Jika sekelas staf biasa saja diterapkan seleksi masuk yang ketat dengan psikotes yang sangat serius, mestinya taraf yang lebih tinggi diterapkan dalam menyeleksi seorang pemimpin suatu organisasi.

Pemimpin yang merasa dirinya gagal pun sebaiknya bisa mengesampingkan egonya dan berbenah diri. Ia harus bisa mengakui kegagalannya, lalu segera mencari tahu apa sebetulnya akar permasalahan yang menyebabkannya gagal itu dan mengatasinya. Jika merasa dirinya kurang tegas, maka belajarlah untuk tegas. Jika merasa kurang lugas, belajarlah untuk lugas. Dan jika merasa kurang cerdas, belajarlah supaya cerdas.

Intinya belajar, belajar, dan belajar.

Jika sudah dan tetap gagal memenuhi harapan (KPI tetap jeblok), ya sudah lapangkan dada saja. Biarkan organ perusahaan yang lebih tinggi mengambil sikap.

Atau jika ingin dianggap lebih bijak, langkah pengunduran diri patut untuk dipertimbangkan demi muruah yang terjaga dan masa depan perusahaan yang lebih yogia.

Apa penilaian Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.