Pertanyaan di atas menghasut saya menuliskan artikel ini. Banyak dari teman-teman, bahkan keluarga, saya yang juga sempat mengutarakan hal senada. Mereka pikir semua pemasar (salesmen, sales promotion boys/girls, marketers, atau apalah Anda menyebutnya) adalah penipu yang tahunya hanya bagaimana produk mereka bisa cepat laku tanpa memikirkan nasib dan perasaan orang-orang yang telah membelinya. Belum lagi ditambah kehadiran buku-buku terkait seperti “All Marketers Are Liars” karya Seth Godin dan “Marketing Is Bullshit” karya Ippho Santosa, yang seolah makin mempertegas keyakinan mereka itu. Jadi, apakah benar marketing itu penipuan? Sungguh, ini adalah sesuatu yang perlu ditanggapi dengan sangat hati-hati. Untuk itu, mari kita mulai dari pangkalnya.
Berdasarkan berbagai buku teks Manajemen Pemasaran yang masyhur, pemasaran atau marketing didefinisikan sebagai proses pemindahan konsep barang/jasa kepada pelanggan. Proses tersebut membutuhkan kolaborasi empat elemen, yang dikenal dengan istilah 4P: product, price, place, dan promotion.
Product (produk) mengacu pada hal-hal yang ingin dijual. Price (harga) mengacu pada seberapa besar sebuah bisnis ingin mengambil keuntungan dari harga pokok produksi tiap-tiap unit produknya. Place (tempat) mengacu pada dimana sebuah bisnis ingin mendistribusikan produk-produknya: apakah itu di ruang publik atau di dunia maya (online). Dan, promotion (promosi) mengacu pada seperti apa sebuah bisnis ingin mengomunikasikan produk-produknya kepada masyarakat.
Bagaimana keempat elemen itu dikolaborasikan, itu bisa melalui berbagai cara. Yang jelas, pemasar harus mampu mengubah hal tersebut menjadi suatu nilai (value) yang bisa ditangkap oleh pasar, dengan catatan semuanya harus dilakukan secara proporsional. Maksudnya, pemasar tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang bisa membuat calon pelanggan atau prospekannya sedemikian yakin kalau ia akan mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari apa yang sebenarnya terkandung dalam produk yang ditawarkan.
Sederhananya, seorang pemasar tidak boleh menggiring prospekannya untuk berlaku overestimate terhadap produknya. Jika tidak, apa yang dilakukannya termasuk sebuah kecurangan atau mungkin juga dapat dikatakan penipuan.
Namun demikian, tak bisa dimungkiri pula kalau seringkali pelangganlah yang salah menafsirkan apa yang telah disampaikan oleh pemasar sehingga seolah-olah mereka telah ditipu karena apa yang mereka dapatkan tak seperti apa yang mereka harapkan.
Memang dalam praktiknya tak jarang pemasar yang menggunakan trik untuk menjaring pelanggannya, namun itu tidak begitu saja bisa disamakan dengan menipu. Selama trik itu dilakukan tanpa ada unsur-unsur kebohongan di dalamnya, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan penipuan.
Misalnya, Anda melihat sebuah papan iklan (billboard) yang menawarkan rumah dengan “lokasi strategis dan hanya berjarak 7 menit dari gerbang tol terdekat.” Anda pun tertarik dan membelinya. Setelah Anda menempati rumah tersebut, ternyata apa yang Anda alami sehari-hari berbeda dengan yang tertera pada billboard tadi: jaraknya dari gerbang tol terdekat ternyata bukan tujuh menit, tapi 15 menit karena kondisi jalan yang macet. Dalam kasus ini, Anda tidak bisa serta merta mengatakan kalau iklan tersebut adalah penipuan. Mengapa? Karena bisa jadi yang mereka maksud “7 menit” itu adalah jarak tanpa adanya kemacetan sedikitpun.
Cara-cara memasarkan seperti inilah yang saya maksud dengan trik. Pemasar sama sekali tidak berbohong, hanya saja mereka menggunakan pendekatan yang memang sifatnya membius, dan ini sah-sah saja.
Tentu, masih banyak trik lain yang sering digunakan para pemasar untuk menjaring pelanggannya. Oleh karenanya, di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen juga perlu lebih kritis dalam menyikapinya. Barangkali memang ada baiknya saya bahas trik-trik lainnya itu di kesempatan terpisah. Semoga tulisan ini bisa menjadi pembuka yang mecerahkan untuk tulisan berikutnya.
Tulisannya bagus, Kak…..
Bisa ngutip sedikit, ya?
singgah di blog saya: http://www.mediapamungkas.com
Silakan. Terima kasih sudah berkunjung ๐