Berbelanja adalah aktivitas favorit setiap orang, apalagi kalau dananya tersedia. Namun, logis dalam berbelanja adalah sebuah pekerjaan rumah (PR) yang sulit, terlebih dengan badai iklan terpersonalisasi yang terus menerjang di media sosial kita.
Tak sedikit yang akhirnya terseret badai tersebut ke dalam kubangan penyesalan. Mereka sering kali lupa bahwa apa yang mereka belanjakan bukanlah yang mereka butuhkan, melainkan hanya yang bersifat dadakan.
Inilah yang dinamakan “impulse buying”. Fenomena ini mengesampingkan rasionalitas ketika berbelanja, sehingga membuat para pelakunya tidak logis dalam berbelanja.
Padahal, kalau saja mereka mau sedikit berjuang melawan hawa nafsunya, mereka bisa mengalokasikan uang mereka kepada hal-hal yang lebih mendasar dan penting, yang berlandaskan pada konsep needs before wants (kebutuhan lebih utama dari keinginan).
Akan lebih bagus lagi jika konsep tersebut bisa dielaborasikan dengan Hirarki Kebutuhan Maslow yang sangat praktis. Sehingga, jebakan impulse buying tidak perlu menjadi kekhawatiran para shoppers nantinya.
Nah, jadi bagaimana caranya agar Anda bisa logis berbelanja? Silakan tanyakan empat hal ini sebelum Anda membeli sesuatu:
1. Apakah Anda membutuhkannya?
Ini adalah pertanyaan yang paling mendasar yang membutuhkan kejujuran pada diri sendiri. Sangat penting untuk mengevaluasi apakah Anda benar-benar membutuhkan produk tersebut atau hanya sekadar keinginan.
Tanyakan pada diri Anda sendiri apakah produk tersebut akan memberikan kontribusi positif pada hidup Anda atau membantu Anda dalam memecahkan masalah tertentu. Jika tidak, silakan Anda kesampingkan.
Jangan kalah dengan bujuk rayu marketing karena dia punya berbagai trik yang sering mengelabui, sebagaimana pernah saya tulis di sini. Bagaimanapun, jika jawaban akhir dari pertanyaan ini benar-benar “Ya”, silakan Anda lanjut ke pertanyaan berikutnya.
2. Apakah harus saat itu juga?
Waktu adalah faktor yang sangat penting saat berbelanja. Pikirkan apakah Anda bisa menunda belanja agar dapat menyesuaikan dengan anggaran Anda atau untuk memanfaatkan penjualan atau promosi di masa mendatang.
Menunda belanja bisa memungkinkan Anda untuk menghemat dan merencanakan pengeluaran dengan lebih efektif. Apalagi kalau Anda tahu pola promosi penjualannya.
Misalnya, Anda hafal betul bahwa hampir semua penjual akan memberikan diskon di bulan/moment tertentu setiap tahunnya. Anda akan mendapatkan harga yang lebih baik apabila Anda bisa menunggu kan?
Keputusan Anda untuk menunda belanja tersebut saja sudah menunjukkan bahwa saat itu Anda sedang tidak membutuhkan pembelian barang/jasa tersebut dengan segera sebetulnya. Jadi, menurut saya, posisi Anda akan jauh lebih baik ketika masa promosi itu tiba.
Namun, bila pola promosi itu sama sekali tidak masuk dalam radar perhatian Anda karena Anda merasa harus memiliki barang/jasa tersebut segera, artinya itu adalah barang yang penting bagi Anda.
Dengan kata lain, jawaban “Ya” dari pertanyaan ini seharusnya menuntun Anda ke pertanyaan berikutnya.
3. Apakah harganya sepadan?
Pertanyaan ini memberikan bobot perhatian yang lebih besar kepada barang/jasa yang relatif mahal. Jadi, dengan kata lain, yang Anda harus tanyakan kepada diri sendiri adalah “Apakah harganya harus semahal itu?”
Ini yang cukup sulit, memang, karena Anda harus melakukan riset yang cukup. Dan, akan lebih sulit dilakukan ketika berkenaan dengan sesuatu yang menjadi hobi/kegemaran Anda.
Ya, ada potensi merasionalisasi keadaan ketika ini menyangkut hobi. Artinya, keputusan berbelanja Anda sangat mungkin akan terdistorsi sehingga tidak dapat dikatakan logis berbelanja.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa itu mungkin jauh lebih buruk dari sekedar “tidak logis berbelanja,” namun juga termasuk kriteria kedunguan, sebagaimana dijelaskan dalam The Greater Fool Theory (silakan baca tulisan saya terkait teori itu di sini).
Jadi, ya, ini adalah pertanyaan yang sulit bagi sebagian orang. Anda perlu lebih kritis dan jujur kepada diri Anda sendiri dalam hal ini.
Jawaban “Tidak” atas pertanyaan ini harus menggugurkan niatan Anda untuk berbelanja. Sementara, jawaban “Ya” harus membawa Anda ke pertanyaan pamungkas berikutnya.
4. Apakah uang Anda cukup?
Sekilas, ini adalah pertanyaan yang tidak sulit sama sekali, ya? Kan, kita cukup lihat rekening kita saja, ya?
Perspektif seperti ini hanya akan valid jika Anda tidak memiliki fasilitas kredit tanpa agunan (KTA) di genggaman Anda. Satu fasilitas KTA saja, kartu kredit misalnya, cukup membuat pertanyaan ini menjadi kompleks.
Ini akan berkaitan dengan bagaimana Anda memandang kartu kredit itu sendiri: apakah sebagai alat berutang atau alat pembayaran. Idealnya, kartu kredit harus dipandang sebagai alat pembayaran karena prinsipnya berutang itu tidaklah dianjurkan (saya akan bahas tentang ini di artikel terpisah).
Jadi, sekalipun Anda berbelanja dengan kartu kredit, Anda seharusnya sudah punya rencana yang jelas untuk langsung melunasinya ketika tanggal jatuh temponya tiba, bukan dengan dicicil atau malah membayar dengan nilai pembayaran minimumnya (ini adalah mentalitas yang salah).
Maka, ketika memang harus berutang, tanyakanlah diri Anda sendiri, “Apakah Anda punya dana yang cukup untuk melunasinya saat tagihannya tiba?”
Jika “Ya,” silakan Anda bungkus belanjaan Anda itu segera. Namun jika “Tidak,” tolong jangan ragu lambaikan tangan Anda ke kamera!